5 Desember 2013

cerbung "pengakuan sang anak hujan" part 7

Sesampainya di rumah aku antarkan bebek itu ke kandangnya, dengan pakaian basahku aku meringkuk memeluk tanganku sendiri.  Selepas ku melaksanakan solat magrib, aku duduk di depan tv dengan ditemani secangkir teh berharap bisa menghangatkan tubuhku, malam sudah larut tapi hujan belum juga lelah bergeming, dingin ini memanja malam ini merayuku, merajuk, ketika ku bisikan aku tidak menyukai suasana ini yang teramat dingin, tapi ia berusaha terus memikatku, melumpuhkanku, hingga kedasar tulangku.  Saat sesekali kulirik jendela yang terus berbunyi oleh angin, gemuruh angin dan petir saling menyambar, ia mencoba mengeringkan mataku godanya begitu kuat.  Hingga pada penghujungku terlelap dengan acara tv yang berisik sendiri.

Sepertiga malam ku terjaga, ku amati seisi rumah masih kosong tak berpenghuni selain aku, aku tidak tahu kemana bapak dan ibuku pergi, ku tutup jendela kayu itu sebelum aku pindah melanjutkan mimpiku yang sempat tertunda di kamarku sendiri, aku pastikan semua pintu sudah terkunci dan kemudian aku melanjutkan tidurku. Entah apa kali ini aku susah untuk tidur, aku sedikit menyesal sudah berpindah ke kamar, beberapa menit aku tak kunjung terlelap, langsung saja aku ke kamar kecil untuk berwudu dan melaksanakan shalat malam, setelah shalat aku mencoba membaringkan badanku tapi tetap ku tak bisa terlelap, terbias kabut rindu pada sosok insan memenuhi setiap tatap, bahkan pula saat mata hampir terpejam.  Mengganggu pikir dalam nyata, mengganggu pikir dalam imajinasi, ia terus menggelitiki ruang hayalku yang membuatku terpingkal angkat tangan menyerah, seolah ia tidak peduli.  Ia pula terhanyut dalam setiap buaian mimpi, mengganggu, yang seakan menjadi sutradara dalam kisah impian bunga tidur, seenaknya mengatur alur kisahnya.
Aku tidak bisa melanjutkan tidur kuhingga pagi menjemputku meski tetap aku berada dibalik selimut, entah apa yang sedang meracuni pikirku, hingga matahari menjemput ia tak mau kalah olehnya, menjadi sesuatu pertama yang terlihat oleh bola mata mulai terbiaskan cahaya.  Sungguh, kurasa ia tak bosan menyertaiku setiap detik, setiap lakuku, ia menjadi teman tersetia di malam ini.

Aku tahu aku merindukannya, meski baru kemarin aku bertemu walau hanya saling membisu, mungkin ini akhir dari kisahku atau ini hanya sementara, akupun tidak tahu.  

Lebaran masa kecilku sangat berbeda dengan lebaran sekarang suasananya, mungkin karena perkembangan jaman yang smakin maju, mushola dulu selalu penuh sampai keteras para jamaah untuk shalat tarawih di bulan ramadhan, meski petromak sebagai penerangnya tapi mushola selalu ramai oleh jamaah, teman - tman sebaya sibuk dengan petasan dan mobil obornya, Ketika shalat tarawih selesai teman – teman berkumpul menunggu makanan dibagikan pada kami, sampai berebut demi mendapatkan makanan yang banyak, minta tanda tangan sama imam karena tugas sekolah yang mewajibkan selalu ikut shalat tarawih dan tadarus. Sungguh membuat terpingkal perutku, sudah 4 hari setelah lebaran aku masih belum bertemu sama teman – temanku hanya beberapa teman yang datang ke pinggir sungai kemarin, sobri, soleh dan imam besok harus sudah meninggalkan kampung lagi, teman – teman yang lain sudah sibuk pergi ke tempat saudara – saudaranya, ibu dan bapak pun tak kunjung pulang dari semalam, aku harus tetap dirumah menunggu mereka pulang.

Pulang tarawih bareng – bareng ditemani sang rembulan yang mengintip dibalik awan, dan mobil obor kami, waktu itu listrik belum ada jadi sampai rumah kalo ada yang punya tv bisa nonton walau sekedar TVRI sebagai hiburannya, sahabat – sahabatku sobri, soleh, imam dan ukhti selalu mampir kerumah kalau selepas shalat tarawih untuk menonton tv, dan aku harus mengantar pulang ukhti soalnya sobri, soleh dan imam rumahnya berlawanan arah dengan ukhti, rumah ukhtipun tidak jauh dari rumahku, tinggal melewati satu bidang sawah. ketika sahur mengundang bergegas anak – anak desa keluar untuk membangunkan tetangga dengan meriam bambunya, sampai – sampai nenek marah karena kebisingan akibat suara meriam bambuku yang terlalu keras bunyinya “hahaha” dan aku selalu bersembunyi di samping kandang bebek milik paman, setelah makan sahur kami sering kembali ke mushola untuk shalat subuh berjamaah, meski musholanya di depan rumahku tapi aku selalu membawa mobil oborku untuk meramaikan mobil – mobil obor kami, berkumpul diserambi mushola, menunggu ayam berkokok sebelum pulang membanitu ibu membersihkan rumah.

Biasanya setelah pulang tarawih kalau bulan lagi purnama kami selalu bermain sodoran, huuuh permainan yang selalu membuat capek tapi semangat untuk dimainkan, yaaaah karena senyum dan tawa teman – teman. kalau sore hari sambil menunggu buka puasa kami biasanya bermain layang – layang dan bermain meriam bambu saling beradu mana suara yang paling keras.

itu sekitar 9-10 tahu yang lalu, tapi kini semua berbeda, semenjak kami lulus MI semua teman – temanku pergi untuk melanjutkan sekolah masing – masing, sekarang ini  3-4 shaf pun sudah paling banyak, tidak ada lagi bermain sodoran, meriam bambu, mobil obor, ingin kembali kemasa dulu jadinya, dulu kalau sore tiba kami mandi disungai, dulu yang sungainya masih jernih, dingin, besar, sekarang kecil, kumuh, berbeda sekali dengan dulu.

Sendirian dirumah jadi kepikiran masa kecilku, hari ini cuaca sangat cerah tidak mendung tidak hujan, sambil melihat foto – foto ku dan teman – temanku waktu masih sekolah MI, tak sengaja aku melihat foto aku dan ukhti di pinggir sungai berdandan pengantin - pengantinan waktu itu ada bapak tukang foto keliling dan pamanku meminta kami berdua berfoto dan yang bayar pamanku, aku senyum – senyum sendiri saat melihat foto ini.  

Tak terasa hari begitu cepat berganti sore, ibu sama bapak baru saja pulang dari rumah ukhti, katanya ada pengajian di rumahnya, tapi kenapa aku tidak diajak.

    “bu... ngopo aku ndak diajak ke rumah ukhti kalau disana ada pengajian?”

Sambil berjalan masuk ibu menjawab

    “la wong kamu gak tahu kemana kok dari kemarin, yo wes ibu sama bapak berangkat sendiri, pas ibu tanya sama ukhti katanya kamu di sungai belum pulang”.

Malam ini diantara heningnya dunia saat gelap melanda mengalahkan sejuta cahaya, jeritan kucing yang terus menakutkan lawannya, jarak pandang mulai memudar, ditemani segelas teh manis ku rangkai sejuta pesona dalam hati.
Jauh diluar sana entah dari mana asal nada malam dialunkan, sampai berdiri bulu roma yang membuat terlelap semua jiwa yang mendengarnya, gonggongan anjing saling bersautan menambah kengerian nyanyian katak pun tak mau kalah yang membisingkan telinga membantu meredakan rasa takutku malam ini, nada – nada itu berasal dari jendela kamarku yang selalu terbuka dan tertutup oleh angin, malam ini seribu bintang dan cerahnya rembulan menemaniku tidak seperti malam kemarin langit menurunkan hujannya pada titik – titik ditanah, ini tentang sebuah perasaan yang selalu berada dalam kehampaan, rasa ini berdiri diantara bunga malam wangi menusuk hidung, tapi tak tampak dari pandangan, aku menulis sebuah puisi ditemani lentera kecil yang tidak cukup membuatku melihat seisi kamarku,

dalam bayangan berjalan di ujung pasir, bersama tongkat ditangan, mencari sepucuk surat lama yang tertinggal entah dimana, walau terus menunggu entah sampai kapan tapi sangat berharga untuk diabaikan.  kadang terlalu mudah berucap suka lisan ini, kadang merasa jemu pada suasana ini terlalu sederhana untuk ku serahkan.

dunia ini kosong, hampa, melayang, bak tidak ada lagi gravitasi untuk setitik debu terjatuh, Merindukan permukaan jadi tumpuan lelah yang selalu melayang, detakan jantung bak gempa berkekuatan tinggi.  Kemarin, sekarang, dan lusa tak ada cerita yang dapat di tuliskan oleh tinta hitam, tentang rasa ini pada sosok insa, bingung memang yang terkadang diam menunggu berharap kemudian datang beberapa serpihan cahaya, membuatku terlena dibuatnya.  Sudah kusisihkan satu diantaranya karena tak sanggup untuk ia mengerti, mungkin ia terlalu takut akan menjadi api hampir ia padamkan lentera itu, redup terang serpihan cahaya itu, ingin kuambil tapi meredup saat kusentuh walau selembut sutra kini kubiarkan melayang mengikuti semua langkahnya pergi.

Semua biarlah mengikuti takdir yang ditentukan, sisakan pada semut di dinding, sungguh aku tidak mau menjadi pelangi, indah jika dipandang dari jauh, tapi tak nampak jika dari dekat hanya fatamorgana semata.  Semut butuh sesosok penyadar dalam buaian fatamorgananya butuh seseorang yang membangunkannya dari asa palsu yang membelenggu ia telah terjerat kuat.

BERSAMBUNG...

Tidak ada komentar: