8 September 2013

-pengakuan sang anak hujan- part 1


" untukmu sahabatku...


salam buat penghuni bumi salam indah seindah mutiara sebening telaga kautsar dan sesejuk zam zam yang jika direguk dapat menghilangkan dahaga Assalamualaikum ya ukhti...
ukhti saat ku menulis surat kecil ini, hujan datang dengan gemetar, di atap bubungan seperti berkejaran beradu cepat dengan halilintar, menggigil daun-daun berkerut sayap-sayap burung berteduh dibawah angin yang berpusar takut-takut
-berdoalah-


katamu sebab Tuhan memberikan berkah lewat hujan datang, aku mengeja kata-katamu kudapati matamu penuh pasti, cepatlah, selagi hujan masih ada.

puisi-puisi yang bertebaran di mataku, sajak-sajak yang lindap dalam mimpi-mimpimu
kau pernah katakan bahwa rindummu terpasung waktu dulu. ketika kau masih berjarak demikian jauh dariku dan aku pernah berimu jawab jua bahwa aku akan mencuri waktumu meski sekejap untuk kita pada sisa hari. tapi, kini kau makin berjarak dariku, kau sendiri atau waktu kah yang makin memasung rindumu? dalam jeda hari ini, kukenang bait demi bait puisimu, ukhti... dengarkan dan rasakan  setiap hujan menghampirimu karena hujan adalah puisiku..

wassalam...”

NB. Tolong jawab suratku secepatnya..


Begitulah isi surat yang aku rangkai hampir semalaman, keesokan harinya aku mengirimkan surat itu lewat pos dan mengirimkannya ke jogja, berharap besar dalam hatinku agar surat itu segera sampai dan segera mendapat balasan. Dari hari kehari, surat pun belum ada jawabannya aku mulai mempertanyakan dalam hati “apakah kau sudah lupa padaku hingga suratku tak kunjung kau balas” . sekian lama aku menunggu jawaban surat tapi tak kunjung datang, hingga akhirnya aku memutuskan untuk melupakan masalah jawaban.


Disatu malam aku termenung sendirian dibawah binarnya sang rembulan ditengah-tengah angin bertiup kencang dan rintikan hujan yang semakin lama semakin membuat tubuhku basah, malam itu aku berbicara pada hujan dan mempertanyakan tentang perasaanku kepada hujan, “jika kau adalah puisi, maka puisi itu adalah hujan yang menikam bumi dengan tajam...”. dalam hatiku sudah berniat untuk melupakan semua yang aku harapkan, dan kembali menjadi orang biasa, yang disibukkan dengan aktivitas kehidupan dan aktivitas sekolah. Dalam kesehariannya aku adalah seorang yang sangat pendiam dan sangat taat beribadah aku dilahirkan dari keluarga bisa dibilang cukup di kampungku, ibuku yang bekerja sebagai guru MI di desa dan di desaku belum ada sekolah negeri yang ada adalah MI, MTs, dan MA. Bapakku bekerja sebagai penerima jasa jahit pakaian.


Setiap kali aku pulang sekolah aku langsung membantu pamanku untuk menggembala bebek yang jumblahnya dibilang banyak, aku sangat senang dengan suasana desa yang masih sangat alami dan selalu membuatku betah berlama-lama disini, hingga pada suatu tempat dibawah pohon jambu dipinggiran sungai, aku teringat pada sahabatku yang beberapa tahun yang lalu sebelum dia meninggalkanku karena orang tua yang pindah ke tanah istimewa jogja, masih terbayang dimataku saat aku membuatkan mahkota dari daun kopi dan membuatkannya cincin dari rerumputan, kami bagai seorang raja dan ratu yang berada di istana besar, dengan saling memegang tangan, kami berdua membuat sebuah janji “ya Tuhan jangan pisahkan kami dalam keadaan lupa, pusahkan kami hanya raga kami yang terpisah tapi hati kami selalu dekat, dibawah pohon jambu ini yang akan mempertemukan kami lagi disuatu saat nanti... amiiin” suasana itu diabadikan dengan meminta pak poling (poto keliling) untuk mengambil foto kami berdua.. dan kami meminta untuk dicetak menjadi dua, keesokan harinya sahabatku berpamitan sebelum berangkat dan ia berkata padaku “akhi kabari aku...” aku hanya diam dan tak bisa berkata apa-apa, orangtuanya yang juga sangat dekat denganku dia menitipka barang berupa sepeda ontel untuk membantuku pergi sekolah dan belia berpesan “akhi jadilah orang yang kamu inginkan... “ kata-kata itu yang selalu membuatku teringat pada keluarga besar sahabatku, sebelum dia pergi aku memanggilnya “ukhti... tunggu sebentar, ini untukmu, semoga kamu selalu ingat padaku...”  aku memberikan satu foto kenangan yang kami abadikan ketika kami saling berucap janji dan satu surat yang berisi kata-kata janji kami berdua.

Huuuh... akhi... akhiii sedang apa kamu disana... dari kejauhan pamanku memanggil, “akhi hari sudah sore mari kita pulang” padahal aku masih betah memandangi tempat istimewaku yang selalu membuatku ingat padanya.

Sesampainya dirumah aku langsung mandi dan shalat asar setelah itu aku buka lagi foto kami berdua dan surat yang berisi janji kami berdua,  dalam pikiranku aku ingin membuat surat untuknya lagi, setelah selesai aku membuat surat aku kembali termenung bahwa aku sudah berjanji untuk melupakannya, mungkin ia sudah sangat bahagia disana dan sudah melupakannku.



Beberapa tahun kemudian ketika aku lulus MA pamanku memanggilku “akhi sini dulu... tadi paman dari kantor pos, dan pak pos menitipkan surat ini untukmu...” dan aku berkata “terimakasih paman...” sesampainya dirumah, dengan baju yang penuh dengan warna warni sehabis coret-coretan sama teman untuk merayakan kelulusan kami. Langsung aku masuk kamar dan membaca surat itu,.,.


 “untukmu sahabatku akhi..


salam buat penghuni bumi salam indah seindah mutiara sebening telaga kautsar dan sesejuk zam zam yang juka direguk dapat menghilangkan dahaga Assalamualaikum ya akhti...


maaf akhi sebelumnya suran akhi 6 tahun yang lalu tidak ku balas karena waktu itu keluargaku sedang ada musibah, abiku meninggal dunia karena sakit jantung,aku menerima surat dari akhi setahun setelah akhi mengirim surat itu dari  umi, dan umi berkata ukhti maafkan umi surat dari akhi baru umi kasih sekarang karena umi lupa mengasihkannya. Akhi aku menangis saat membaca suratmu, T_T..


Akhi terimakasih akhi sudah selalu ingat sama ukhti, lebaran nanti aku sama umiku mau pulang kekampung untuk berjiarah ke makam mbah putri sama mbah kakung. Akhi aku merindukanmu...
Sajak-sajakku lindap dalam mimpimu ketika kau diam-diam mencuri waktuku. Pantas, ku sering kehilangan malam-malamku hingga yang kudaati hanya senja di bibir waktu, akhi? Sejak kapan kau terbiasa mencuri waktuku, sejak aku melihat senyum, batari.


Kupu-kupu lindap di remput perdu bunga sore merekah penuh itu yang akan amenyambutmu ketika kau juga ingin mencuri hatiku. Sejak kapan kau mencoba mencuri hatiku, akhi? Sejak kau suguhkan senyum dan mahkota untukku.


Senja yang kau sisikan kini, telah mengendap di ruang kalbu mungkin kali ini, malam akan kau curi lagi diam-diam.

Akhi kusuguhkan sore yang berbeda, akhi sore dengan tarian hujan yang riang, sore dengan pelangi yang nanti akan datang dan sore dengan daun-daun yang rekah mengembang.
Kusuguhkan sore yang berbeda, akhi biar bisa kau kenang saat senja tiba.
akhi... dengarkan dan rasakan  setiap hujan menghampirimu karena hujan adalah puisiku..

wassalam...



tanpa sadar air mataku bercucuran dipipiku, seseorang yang pernah membuatku terasa lebih hidup dan berarti kini ia kembali dan membalas suratku meski aku sudah lupa isi suratku yang dulu aku kirim, langsung saja aku membuka isi lokerku dan mengenang kembali masa lalu saat kami masih kelas 4 MI, foto yang selalu mengingatkan pada masa itu. Senyumpun tak terbendung lagi sebentar sendu sebentar riang, aku juga bingung apakah ini adalah perasaan senang atau memang ada ikatan tersendiri di antara kami... 
BERSAMBUNG... 





 by. Banyu mili

Tidak ada komentar: