12 September 2013

-pengakuan sang anak hujan- part 3


15 januari 2000. saat kami pulang sekolah aku melihat, dia sepanjang jalan hanya diam, kuhentikan laju sepeda dan aku bertanya “ukhti kenapa hari ini kamu diam? Biasanya kamu paling cerewet kalau naik sepeda bersamaku” dia masih saja diam “ukhti apa kamu marah sama aku karena tadi pagi aku berangkat sekolah gak jemput kamu dulu?” diapun masih saja diam kemudia aku memberikan senyuman untuknya, lalu ia berkata “besok ayahku mau datang kesekolah, meminta surat pindah sekolah sama pak kepala sekolah” kembali ia terdiam dan memasang wajah murungnya. Sepanjang perjalanan menjadi sunyi tak ada kata-kata yang keluar dari ku.“akhi....akhiii... akhiiiii...!!! mau kemana kita,,? Akhii jangan diam aja siii,, jawab, kita mau kemana,.,.?” aku sengaja diam, dan kupercepat goesan sepeda ini melaju kesuatu tempat, dihamparan sawah yang sangat luas, diiringi rintikan hujan, aku menuju kepinggiran sungai dibawah pohon jambu, gerimis masih menemani kami, lalu kupinjamkan jaket untuk menutupinya agar tidak terkena hujan, tapi hujan masih saja meneteskan air, semakin besar langit menangis, dia hanya diam, diam dan diam, hanya petir yang saling bersautan yang mendendangkan lagu bersama gemercik air mengalir disungai, burung-burung berpindah dari ranting satu keranting yang lain, katak berloncatan menuju tepian sungai. Kami masih terdiam membisu, aku pun masih bingung apa yang akan aku katakan untuknya.



Hujan berubah menjadi gerimis, gerimis berubah menjadi rintikan kecil, mentari secara berlahan mulai memperlihatkan di ufuk barat hendak sembunyi, pelangi melukiskan langit bersama kicauan burung sang mega mulai ikut mewarnainya. “ukhti waktu itu ketika aku bilang bahwa hujan adalah puisi, kau hanya tertawa.. menertawakan wajahku yang menjadi sayu. ketika aku bilang rintik itu bahasa langit, kaupun hanya tertawa..menertawakan senyumku yang menjadi sendu. tapi kini, puisi itu telah menjelma menjadi hujan, rintiknya serupa sembilu menusuk kalbu, terasa sampai menusuk hingga ketulang, aku baru sadar  bahwa karena kaulah yang membuat hujan menjadi puisi... karena kaulah yang membuat sajak-sajak berupa gerimis”  kembali diam mengiringi kami, dia memandangku begitu dalam, dia memandangku penuh dengan kepiluan, kini jaket yang kuberikan untuk menutupi dari hujan, dia lepaskan dan dia tersenyum padaku “ akhi... hujan akan selalu bersamamu... puisi akan selalu berdendang ditelingamu... esok pagi, mentaripun masih ada untukmu...” kembali ia tersenyum memamerkaan lesung pipinya.


Ketika tonggeret mulai menggantikan nyanyian burung, ia bertanya padaku “akhi... kenapa malah kamu seperti ini? Kamu dari tadi diam, ada apa,?” kutarik nafas dalam-dalam dan kuhembuskan perlahan “kapan kamu meninggalkanku? Kapan kamu pergi dariku? Kapan kamu hendak meninggalkan pohon ini?”  aku bertanya dengan serius, tiba-tiba air matanya satu persatu terjatuh dan membasahi pipinya, semakin lama semakin tak terbendung laagi air matanya yang memaksa keluar dan isak yang semakin menjadi. Perlahan ku hapus air matanya yang membasahi pipinya, dia memgang tanganku dengan erat seperti tak mau dilepasnya. “ akhi... aku gak akan kemana-mana, aku tetap di sini aku tetap ada disampingmu, bermain bersama, berangkat sekolah bersama-sama, berangkat mengaji bersama, aku tidak akan pergi dari sini, aku tidak mau jauh dari kamu, akhi... percayalah, kamu adalah teman satu-satunya yang paling dekat denganku, akhi.... kamu taukan itu?” akupun tersenyum dan memandangnya dengan memberikan keyakinan “ukhti... semua itu benar, kita tidak akan terpisah walau kita berbeda tempat” hari semakin larut sore, megapun semakin jelas terlihat, dan mentari semakin tenggelam dan menyapa selamat tinggal pada kami berdua. Ku ambil sepeda yang tergeletak di sana dan aku mengajaknya untuk pulang, di sepanjang perjalanan aku selalu berbicara bahwa kau adalah puisi dan puisi adalah hujan.


Sesampainya dirumahnya, aku langsung berpamitan pulang, seperti biasa dia hanya memberikan senyuman khasnya untukku, kubalas dengan senyumaan juga. Dalam perjalanan pulang aku berfikir, sebentar lagi ia akan pergi dari sini, dan ia akan ikut orang tuanya pergi ke-jogja, lalu aku percepat langkah kakiku, semakin lama semakin kupercepat hingga ku berlari sekencang-kencangnya, sesampainnya di persawahan, aku tersandung batu dan aku terjatu tersungkur dalam genangan air hujan, gerimis kembali turun, mungkin hujan tau apa yang aku rasakan saat ini, aku masih terbaring di tanah dan aku terdiam dipembaringan, hatiku sangat merasa takut, takut kalau ia benar-benar pergi dariku, takut kalau aku tidak bertemu lagi dengannya. “Tuhaaaaan,,. Aku mencintai-Mu,.,. berikanlah sedikit cinta-Mu untukku,., berikanlah yang terbaik untukku dan untuknya,.,” aku kembali bangkit dan berjalan  menuju rumahku, di pelataran aku langsung menuju ke sumur untuk membersihkan badan, setelah itu selesai mandi dan selesai shalat ashar aku menulis sebuah puisi untuk hujan hari ini


“sering

Aku lupa pada bayanganku yang luka
Hingga ia tinggal
Bersama naruni dan hati
Kupenjara dalam kamar yang hampir mati


Langit biru jadi abu-abu
Semua hati jadi batu
Haruskan dunia demikian rupa
Bermain darah dan luka
Terlalu sering bertaruh nyawa


Jika hidup ini hanya permainan
Gerangan siapa yang memainkannya
Apa ia sudah muali gila?
Teringat tadi malam rembulan yang sembunyi

Tanfis langir rintik
Kupeluk dua kakiku
Kamarku dingin diriku angin


Lalu ku bikin sebuah pesawat dari kertas dan kubuka jendela, menunggu hujan menghilang kupandangi disetiap tetesan air yang masuk kekamarku, kuperhatikan dan ku lihat, memang benar, ternyata hujan itu sangatlah indah. Pelangi berlahan menghilang, mentari perlahan bersembunyi, dan hujan pun berhenti mengirimkan airnya. Aku menarik nafas dan berkata, “aku akan memberikan puisi ini untukmu malam, berharap sang rembulan dan ribuan bintang berganti menemani kepiluan bumi.” Dengan senyuman aku menerbangkan pesawat kertasku keangkasa, sayup-sayup tak jelas aku melihat pesawat kertasku terbang, terombang ambing tersapu angin, hingga jauh dan semakin jauh hingga akhirnya terjatuh di bangku panjang disana jauh dari rumahku, tempat kami berdua dengan ukhti duduk bersama sambil menunggu azan maghrib hampir disetiap sore hari, tapi tidak untuk hari ini.


Azan maghrib pun diperdengarkan dari setiap sudut pengeras suara yang ada di puncak menara masjid dekat rumaahku, ibukku pun mempersiapkan lampu minyak disetiap sudut ruangan, bapakku bersiap-siap berangkat kemasjid “akhi... ayo kita kemasjid,,, “ perintah bapak mengajakku shalat berjamaah, bergegas aku berjalan kemasjid. Aku melihat dari kejauhan ukhti mengenakan mukena putih kekuningan, dan berjalan bersama bapak dan ibunya. Tapi ia tidak melihatku, karena waktunya shalat hendak dimulai, aku langsung masuk ke dalam masjid.


Setelah shalat selesai dan dilanjutkan aku mengaji bersama teman-teman yang lainnya.
Setelah mengaji selesai kami bergegas pulang kerumah masing-masing, dari belakang ada seorang wanita yang memanggilku “akhi anterin aku pulang yaaa?” akupun langsung berbalik badan dan aku langsung mengiyakan, seperti biasa ia selalu memintaku mengantarkan pulang mengaji, dalam perjalanan kami sama-sama diam dan sampai depan rumahnyapun kami masih saling terdiam. Setelah ia berterimakasih kemudian ia mengambil sesuatu dari saku bajunya, “akhi... ini untukmu...” dan kemudian dia langsung masuk rimah, dia memberikan sebuah surat untukku.


Sesampainya aku di bangku dekat masjid, aku duduk disana dan ternyata pesawat yang aku terbangkan tadi masih ada disana. Dengan berlahan aku membuka surat itu, dan ternyata didalamnya ada fotonya, dia memberikan foto untukku, karena tulisannya tidak bisa dibaca karena gelap dan aku langsung menuju rumah, sesampainya di rumah aku kembali membuka surat darinya.


“assalamualaikuum...
Akhi... maaf aku sengaja memberikan foto untukmu, karena aku ingin kamu selalu mengingatku nanti ketika aku sudah tidak ada disini lagi.


Akhi... jujur selama aku mengenalmu, banyak sekali yang aku dapat dari kamu, terutama kesetiaanmu menjadi teman dekat ku...
Akhii... BERSAMBUNG...

by. Banyu mili

Tidak ada komentar: