22 September 2013

ibu pinggiran kampus

Kehidupan dikota sangat berbanding terbalik dg kehidupan didesa,.,. tdak saling mempedulikan sesamanya,.,. berjalan dipinggir jalam malam itu sekedar membeli nasi goreng di pertigaan lampu merah yang terus berganti warna demi menertipkan kendaraan yang lewa hulu mudik,.,. sambil menunggu tukang nasi gorenga menggoreng nasinya untuk para pelanggan, didepan tugu aku melihat ada anak kecil yang lucu kira2 umurnya masih dbwah lima tahun,.,. sedang bermain riang walau hanya ditemani heningnya malam,., sang nenek menggoyangkan semacam kicrikan pelan2 berharap ada uang yang diulurkan dari sang tuan ditepi jalan sambil menunggu warna lampu merah berganti hujau,.,.

sdah sekian lama sang nenek menunggu, ada seorang remaja yang memerikuan uang kpda sang nenek,.. sang nenek sangat berterimakasih kpana anak remaja itu, dia bgaikan malaikat yang sengaja datang untuk memberikan rizki kpadanya,., beberapa orang pun ikut mengulurkan rasa kasihnya,,. Setelah merasa cukup untuk mengganjal perut, sang nenek berjalan mendekati anak kecil yang mulai menangis krn lapar,.,. ibu anak tertidur disamping anak itu yang mungkin krna lelah dengan khidupan,.,. sang nenek menyuruh ibu itu membeli makanan secukupnya, sang ibu beerjalan pelan,,. Anak itu semakin menjadi menangis diiringi gerimis yang turun dan kilatan yang mengerikan,.,.

nenek hanya bisa berdo’a agar hujan sedikit kasihan padanya mendekap erat anak kecil itu sambil menunggu sang ibu pulang membawa secuil makanan,,. Sampai sang anak terlelap dibuatnya,.,.
ibu itu pun kembali dengan roti dan sebungkus nasi ditangan kanannya dan susu untuk anaknya ditangan kirinya,.,. sedikit uang disisakan untuk disimpan guna untuk sewaktu2 membuthkannya,.,.

banyak orang yang lewat dimalam itu tapi tdak sedikit orang yang tidak mempedulikannya,., sakit sekali melihatnya,.,.
Terlihat diseberang sana orang2 makan dengan lahapnya tanpa mempedulikan yang didekat tugu,.,. sang nenek hanya memakan sedikit roti malam itu,.,. wajah sedihnya mulai mewarnai kerutannya,.,.  tak tersadarkan kakiku melangkah mendekatinya,., dan mengulurkan sedkit yang mingkin berguna untuknya,.,. dia menangis dihadapanku,., seolah bercerita tentang kisahnya,.,.


Tukang nasi goreng memanggilku dari seberang sana,., “Mas nasi gorengnya sudah selesai,.,.” “Iya tunggu sebentar mas,.,.” jawabku sambil melangkah menjauhi sang nenek,,., setelah membayar uang nasi goreng aku langsung melangkah pulang ke kostan,.,. dri kjauhan aku melihat bpak2 dengan tongkat ditangannya dan kacamata hitam yang menghiasi matanya,., berjalan kesusahan karena tidak tau dia berjalan dmana,,., hati hendak mendekat tp aku sdah jauh diseberang jalan,.,. sepeda motor dan mobil berhenti sejenak ketika bpak bertongkat itu berjalan menyusuri jalan hendak pulang kerumahnya,.,.
pandangnku pun kualihkan kembali kejalan menuju kostan,.,.

sampai dikostan langsung ku melahap nasi goreng selagihangat sambil menonton tv,., teringat nenek tadi yang sangat sulit untuk mendapatkan makan,.,.
langsung kutawarkan makananku kpada temanku untuk menghabiskannya,.,.

huuuuuuhhhh,.,. susah di bumi pertiwi,.,. sang panglima berdasi duduk enak di rumah, membesarkan perutnya dengan uang rakyat,.,. sungguh kejam.,.,
ibarat lintah memakan darah sang tuan,.,.

tapi inilah kenyaataannya,.,. sdkit rasa sakit yang tergambar,,. Msh bnyak lagi yang lebih membutuhkan hidup,.,. ^^


pedulilah untuk mereka,.,.

jangan lupa zakat yaaaa,.,. ^_^,,.,,.

by. Banyu mili

pengakuan sang anak hujan- part 4

“assalamualaikuum... 

Akhi... maaf aku sengaja memberikan foto untukmu, karena aku ingin kamu selalu mengingatku nanti, dan sampai kapanpun, walau aku sudah berubah nanti... ketika aku sudah tidak ada disini lagi.
Akhi... jujur selama aku mengenalmu, banyak sekali yang aku dapat dari kamu, terutama kesetiaanmu menjadi teman dekat ku...
Akhii... maaf mungkin selama ini aku banyak sekali menyusahkanmu, maaf juga karena aku nggak bisa membalas semua kebaikanmu. Tapi aku selalu berdoa disetiap malamku, semoga kamu menjadi seorang yang dapat dibanggakan oleh semua orang.
Wassalam...”

Ini adalah surat terakhir yang ia kirimkan untukku, sebelum ia berangkat meninggalkan kampung halaman. Malam ini di sudut kamarku yang hanya ditemani lampu minyak yang terombang-ambing tertiup angin ikut menyaksikan suasana hati malamku, aku kembali berjalan menuju pelataran rumahku, duduk dibangku dan memandangi langit yang sedikit demi sedikit mulai bermunculan bintang-bintang, tapi tidak untuk sang rembulan, entah memang ia tak mau menunjukan diri ataukah memang tertutup awan. Runtik-rintik hujan perlahan mulai menghilang yang digantikan suara jangkrik yang bernyanyi membisingkan alam yang sepi, ditemani katak-katak berteriak memeccah langit.

Disudut sepi aku terdiam seribu bahasa sampai pada pemandangan di langit, entah sebuah meteor yang jatuh ataukah bintang jatuh, seketika itu pula aku memejamkan mata dan berdoa pada Illahi, aku berdoa semoga aku dipertemukan kembali dengannya dengan suasana yang berbeda. Setelah keberangkatannya dia tidak pernahlagi mengirim surat untukku, tapi aku selalu mengirim surat untuknya, sekedar memberi tahukan keadaanku. Sejak aku lulus MA, ketika untuk pertama kalinya aku menerima surat darinya, aku merasa bahagia sekali karena sahabat kecilku mengirimkan surat untukku, dan dalam surat itu ia akan segera kembali, tapi disisi lain aku merasa sedih apakah dia masih mengenalku atau tidak lagi.

Hari demi hari aku merenunginya, hari demi hari aku menunggu hari itu. Sepucuk surat yang ia kirimkan untukku masih sering kubaca setiap kali aku teringat masa-masa kecil dulu, hari raya id fitri pun tiba, pagi itu sepulang shalat id fitri aku bersama sahabat lamaku namanya soleh, sejak kecil dia adalah orang yang sangat dekat denganku selain ukhtisoleh sejak lulus MI langsung melanjutkan ke pondok pesantren dan lebaran ini baru berlebaran di kampung. Seorang wanita berjilbab besar berwarna kuning, memakai kaca mata dan membawa tas putih ditangannya keluar dari masjid depan rumahku. Aku dan soleh baru pertama kali melihat wanita ini, ”mungkin dia bukan dari sini akhi...” celetuk soleh sambil melihat wanita itu, “sudaaah jangan dilihat terus, eh tunggu sebentar, tapi dia kok mirip seseorang ya akh, kayaknya ana kenal sama dia” kata soleh, “siapa...?” kataku, “miriiip sama ukhti... iya nggak???” kata soleh, “ukhti..?” kataku, aku berfikir sejenak benarkah dia ukhti atau bukan. “iya... akhi... masak antum nggak ingat, ana saja ingat, padahal ana nggak dekat sama dia dulu, antum yang dulu dekat masak gak ingat...” dia berjalan bersama seorang lelaki berpeci haji berjalan menuju ke pemakaman umum, aku semakin penasaran dengannya, tapi aku tidak begitu menghiraukan siapa dia sebenarnya, aku langsung mengajak soleh mampi kerumah, “soleh singgah dulu kerumah, nanti kita sama-sama pergi ke tempan paklek ku” ­masih sambil melihat wanta itu berjalan, “tidaklah akh, ana mau langsung pulang kerumah, nanti kalau mau kerumah pamanmu, antum keruah ana dulu” kata soleh, “baiklah kalau begitu, assalamualaikum... hati-hati dijalan ya!” kataku “waalaikumsalam... iya akhi...”.

suasana rumah sudah penuh dengan keluarga yang datang dari jauh, ibu dan bapakku sudah menungguku kembali sendari tadi, aku langsung menghampiri bapak dan bersungkem memohon maaf atas semua kesalahan dan dosaku kepada beliau begitupun dengan ibuku, Setelah itu dilanjutkan ke saudara-saudaraku. Di hari ini memang benar-benar hari yang diselimuti dengan kebahagiaan, semua keluarga kumpul, bercerita masa-masa kecil dulu, aku aku merindukan suasana ini sejak dulu, Allah memang Maha Pengasih dan Penyayang, sehingga kami dipertemukan dalam suasana seistimewa ini.

Aku kemudian pamit untuk masuk kekamar, aku bergumam “andaikan dia benar-benar sahabat lama ku... pasti aku akan ceritakan tentang semua kebahagiaan ini...” aku kembali mengambil foto itu. Tiba-tiba bapak memanggil dari luar “le sunu dulu, ki loo enek koncomu...” kata bapak, “siapa paak...?” kataku, kemudian langsung saja aku keluar dari kamar, ketika aku baru keluar mataku langsung tertuju sama seorang wanita yang ternyata tadi pagi sepulang shalat id aku dan soleh melihatny, dia memberikan sebuah senyuman kecil dan kemudian menundukan pandangan dariku, aku masih tak mengerti dengan semua ini, rasa penasaranku semakin besar karena wanita ini berkunjung kerumahku, siapakah dia sebenarnya akupun tak taku. Wanita ini datang bersama seorang wanita paruh baya dan aku mengenalnya, dia adalah ibu dari sahabat lamaku ukhti. “iya pak... siapa yang menyariku...?” aku menanyakan kepada bapakku untuk mengalihkan perhatianku yang sejak tadi memandangi wanita itu, “ kue kenal ora le sama cah ayu iku...?” kata ayah sambil menunjuk wanita itu, dan wanita itu kembali tersenyum sambil menundukan kepala, ndak kenal pak...? memang wanita ini siapa pak..? kok dia bareng sama bulek ima...?” mendengar pertanyaanku ke bapak, aku lihat wajah wanita itu yang tadinya bersinar kini mulai mengerut dan sedikit memerah. “assalamualaikum... waaah rame banget disini pakde, eeeeh ada mbak ukhti,,, ketemu lagi kita disini,” kata soleh yang baru datang dan dia semakin membuatku bingung, karena tadi pagi aku dan soleh sama-sama tidak mengenali wanita ini, tapi sekarang dia malah mengenalinya “waalaikumsalam... soleeeh? Kamu kenal sama dia,..?” setelah soleh selesai bersalaman sama bapak dan ibuku dan juga tamu yang ada di rumahku kemudian dia tersenyum dan berkata “hmmm akhi askhi... masih saja antum ini nggak kenal sama dia... yaudah gini aja besok kita pergi ke suatu tempat, ana mau menunjukan sesuatu... gimana..?“ karena aku penasaran sehingga aku menyetujuinya, dan soleh langsung mengajakku, dia juga mengajak wanita itu untuk pergi bersama, aku diam saja karena walau aku menanyakannya pasti soleh menertawaiku.

Keesokan harinya aku, soleh dan wanita misterius itu berjalan menuju suatu tempat yang aku bayangkan tidak akan asing dalam pikirku. Walau soleh sepanjang jalan selalu senyum kepadaku dengan terheran-herannya aku menggelangkan kepala, kemudian di tengah perjalanan wanita itu berpamit untuk pulang kerumah, “maaf aku gak bisa ikut sama kalian, aku harus pulang sekarang karena aku sudah ditunggu sama sepupuku dirumah, nanti aku nyusul kesana kok,assalamualaikum...” ”waalaikumsalam... iya mbak nanti ajak dia yaa... ?” soleh menjawab salam dari wanita itu, kemudian aku kembali bertanya sama soleh, “soleh... memang sebenernya dia itu siapa siii... aku kok masih bingung,memang apa siii yang disembunyikan...?”, dia hanya tersenyum “sssyyyuuuuut... diam, ikuti saja ana, kita akan menuju kesebuah pohon dipinggiran sungai itu, pohon jambu tempat kita bermain dulu.” Kemudia aku hanya diam sepanjang jalan, tapi tidak dengan soleh dia masih saja tersenyum seakan menahan tawa.

Dari jauh aku melihat pohon itu masih tegak berdiri menjulang langit, dan akhirnya kami berdua sampai juga pada tempat memang yang tidak asing lagi dalam benakku. “akhi antum masih ingatkan tempat ini?, apa jangan-jangan antum juga nggak ingat dengan tempat ini...?” aku tertawa kecil “hei soleeeeh, aku tu hampir tiap hari kesini, jadi jangan tanyakan masal itu...” dan kami tertawa bersama-sama, sekilas aku teringat waktu kami sekelas dulu bermain dan tertawa di tempat ini, tak lama kemudian semua teman-temanku berdatangan dan mereka semua adalah teman-teman MI ku, ternyata soleh dan kawan-kawan sudah membuat rencana dari sebelumnya, dan kamipun kembali tertawa sambil berjabat tangan, ada juga yang menangis karena terbawa suasana. Sungguh hari yang istimewa semua teman-temanku berkumpul disini, sudah lama tidak kumpul-kumpul di tempat yang sangat penuh dengan kenangan, sejak lulus MI semua teman-temanku tidak sedikit yang melanjutkan sekolah dan mondok pesantren keluar kota bahkan ada yang keluar pulau. Diantara semua teman-teman yang datang hanya satu yang belum datang, akupun tidak tau apakah dia belum datang atau memang tidak datang, “ternyata masih ada satu lagi yang belum datang, serasa kurang sempurna kebahagian kita kawan tanpa ada satu orang itu...“, celetukku sambil melempar batu kesungai dan menghela nafas panjang, “cieeeee.... siapa tuuuu... kami apa kamu yang merasa kurang lengkaaaap...???” kata salah satu temanku namanya soimah, dia adalah teman paling pandai di MI ku, dan dia baru pulang dari pondok pesantren modern yang ada di negeri ini, dia mendapatkan beasiswa, dan sekarang dia juga mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan belajar di mesir, sungguh luar biasa. Memang hampir semua teman-temanku mendapat nasib yang baik dan dapat melanjutkan ke sekolah-sekolah yang cukup mewah dan membanggakan. ‘hahahahaaaa....” kamipun tertawa semakin keras.

Ditengah-tengah keributan teman-temanku yang disibukkan dengan bercerita masalah pengalaman pribadi dan prestasi-prestasi yang diperolehnya, Soleh menanyakan sesuatu padaku “akhi ana dengar antum mendapat beasiswa kuliah di jogja ya...?” aku langsung memandangi mata sahabatku soleh “kamu kata siapa leeeh...?” kataku, “kata bapakmu kemaren sebelum lebaran... benarkah...?” jawab soleh, “iyaa leeh, aku mendapat beasiswa kuliah di jogja... kamu setelah mondok mau melanjutkan kemana...?” matanya yang tadinya semangat, kini berubah menjadi sayu dan dia menundukan kepala, “kenapa leeh..?” kataku, “nggak apa-apa akh, ana setelah ini nggak kemana-mana, ana harus membantu ibu mencari uang, kamu tau sendiri kan bapakku sering sakit-sakitan ana gak mungkin mau ninggalin ibu dengan kondisi bapak yang seperti itu” dari matanya mengeluarkan kepedihan, dan kamipun sepontan terdiam dan ikut menangis, memang soleh adalah anak dari keluarga tidak mampu, tapi dia berkeinginan keras bisa sekolah sampai dia benar-benar bisa mencari uang sendiri, seiring dengan rintik hujan yang turun dan mulai membasahi kami tangis soleh semakin deras.

Kami terdiam beberapa saat, “ternyata tempat ini masih seperti yang dulu, tempat yang penuh dengan kenangan, bersama air hujan yang terus mengalir, bertanda bahwa ikatan kita tidak akan terputus sampai kapanpu, Tuhan selalu tahu apa yang kita pikirkan dan yang terbaik untuk kita, ternyata kita masih dipertemukan disini, masih bersama hujan”, kami langsung menengok kebelakang, ternyata dibelakang sana ada dua orang wanita yang sedang memegang sepeda yang semakin aku mengenalnya, salah satu dari mereka berdua adalah wanita yang pagi kemaren aku lihat di masjid dan datang kerumahku, wanita satunya ternyata adalah sahabatku ukhti, dengan senyuman khasnya dia lontarkan padaku sejenak, aku seakan menangis bukan karena cerita sahabatku soleh tetapi aku menangis karena kedatangan sahabat paling dekatku yang sekian lama hampir 9 tahun tidak bertemu sejak kelah 4 MI.

“benarkah kamu ukti sahabatku...?” BERSAMBUNG...


by. Banyu mili

12 September 2013

-pengakuan sang anak hujan- part 3


15 januari 2000. saat kami pulang sekolah aku melihat, dia sepanjang jalan hanya diam, kuhentikan laju sepeda dan aku bertanya “ukhti kenapa hari ini kamu diam? Biasanya kamu paling cerewet kalau naik sepeda bersamaku” dia masih saja diam “ukhti apa kamu marah sama aku karena tadi pagi aku berangkat sekolah gak jemput kamu dulu?” diapun masih saja diam kemudia aku memberikan senyuman untuknya, lalu ia berkata “besok ayahku mau datang kesekolah, meminta surat pindah sekolah sama pak kepala sekolah” kembali ia terdiam dan memasang wajah murungnya. Sepanjang perjalanan menjadi sunyi tak ada kata-kata yang keluar dari ku.“akhi....akhiii... akhiiiii...!!! mau kemana kita,,? Akhii jangan diam aja siii,, jawab, kita mau kemana,.,.?” aku sengaja diam, dan kupercepat goesan sepeda ini melaju kesuatu tempat, dihamparan sawah yang sangat luas, diiringi rintikan hujan, aku menuju kepinggiran sungai dibawah pohon jambu, gerimis masih menemani kami, lalu kupinjamkan jaket untuk menutupinya agar tidak terkena hujan, tapi hujan masih saja meneteskan air, semakin besar langit menangis, dia hanya diam, diam dan diam, hanya petir yang saling bersautan yang mendendangkan lagu bersama gemercik air mengalir disungai, burung-burung berpindah dari ranting satu keranting yang lain, katak berloncatan menuju tepian sungai. Kami masih terdiam membisu, aku pun masih bingung apa yang akan aku katakan untuknya.



Hujan berubah menjadi gerimis, gerimis berubah menjadi rintikan kecil, mentari secara berlahan mulai memperlihatkan di ufuk barat hendak sembunyi, pelangi melukiskan langit bersama kicauan burung sang mega mulai ikut mewarnainya. “ukhti waktu itu ketika aku bilang bahwa hujan adalah puisi, kau hanya tertawa.. menertawakan wajahku yang menjadi sayu. ketika aku bilang rintik itu bahasa langit, kaupun hanya tertawa..menertawakan senyumku yang menjadi sendu. tapi kini, puisi itu telah menjelma menjadi hujan, rintiknya serupa sembilu menusuk kalbu, terasa sampai menusuk hingga ketulang, aku baru sadar  bahwa karena kaulah yang membuat hujan menjadi puisi... karena kaulah yang membuat sajak-sajak berupa gerimis”  kembali diam mengiringi kami, dia memandangku begitu dalam, dia memandangku penuh dengan kepiluan, kini jaket yang kuberikan untuk menutupi dari hujan, dia lepaskan dan dia tersenyum padaku “ akhi... hujan akan selalu bersamamu... puisi akan selalu berdendang ditelingamu... esok pagi, mentaripun masih ada untukmu...” kembali ia tersenyum memamerkaan lesung pipinya.


Ketika tonggeret mulai menggantikan nyanyian burung, ia bertanya padaku “akhi... kenapa malah kamu seperti ini? Kamu dari tadi diam, ada apa,?” kutarik nafas dalam-dalam dan kuhembuskan perlahan “kapan kamu meninggalkanku? Kapan kamu pergi dariku? Kapan kamu hendak meninggalkan pohon ini?”  aku bertanya dengan serius, tiba-tiba air matanya satu persatu terjatuh dan membasahi pipinya, semakin lama semakin tak terbendung laagi air matanya yang memaksa keluar dan isak yang semakin menjadi. Perlahan ku hapus air matanya yang membasahi pipinya, dia memgang tanganku dengan erat seperti tak mau dilepasnya. “ akhi... aku gak akan kemana-mana, aku tetap di sini aku tetap ada disampingmu, bermain bersama, berangkat sekolah bersama-sama, berangkat mengaji bersama, aku tidak akan pergi dari sini, aku tidak mau jauh dari kamu, akhi... percayalah, kamu adalah teman satu-satunya yang paling dekat denganku, akhi.... kamu taukan itu?” akupun tersenyum dan memandangnya dengan memberikan keyakinan “ukhti... semua itu benar, kita tidak akan terpisah walau kita berbeda tempat” hari semakin larut sore, megapun semakin jelas terlihat, dan mentari semakin tenggelam dan menyapa selamat tinggal pada kami berdua. Ku ambil sepeda yang tergeletak di sana dan aku mengajaknya untuk pulang, di sepanjang perjalanan aku selalu berbicara bahwa kau adalah puisi dan puisi adalah hujan.


Sesampainya dirumahnya, aku langsung berpamitan pulang, seperti biasa dia hanya memberikan senyuman khasnya untukku, kubalas dengan senyumaan juga. Dalam perjalanan pulang aku berfikir, sebentar lagi ia akan pergi dari sini, dan ia akan ikut orang tuanya pergi ke-jogja, lalu aku percepat langkah kakiku, semakin lama semakin kupercepat hingga ku berlari sekencang-kencangnya, sesampainnya di persawahan, aku tersandung batu dan aku terjatu tersungkur dalam genangan air hujan, gerimis kembali turun, mungkin hujan tau apa yang aku rasakan saat ini, aku masih terbaring di tanah dan aku terdiam dipembaringan, hatiku sangat merasa takut, takut kalau ia benar-benar pergi dariku, takut kalau aku tidak bertemu lagi dengannya. “Tuhaaaaan,,. Aku mencintai-Mu,.,. berikanlah sedikit cinta-Mu untukku,., berikanlah yang terbaik untukku dan untuknya,.,” aku kembali bangkit dan berjalan  menuju rumahku, di pelataran aku langsung menuju ke sumur untuk membersihkan badan, setelah itu selesai mandi dan selesai shalat ashar aku menulis sebuah puisi untuk hujan hari ini


“sering

Aku lupa pada bayanganku yang luka
Hingga ia tinggal
Bersama naruni dan hati
Kupenjara dalam kamar yang hampir mati


Langit biru jadi abu-abu
Semua hati jadi batu
Haruskan dunia demikian rupa
Bermain darah dan luka
Terlalu sering bertaruh nyawa


Jika hidup ini hanya permainan
Gerangan siapa yang memainkannya
Apa ia sudah muali gila?
Teringat tadi malam rembulan yang sembunyi

Tanfis langir rintik
Kupeluk dua kakiku
Kamarku dingin diriku angin


Lalu ku bikin sebuah pesawat dari kertas dan kubuka jendela, menunggu hujan menghilang kupandangi disetiap tetesan air yang masuk kekamarku, kuperhatikan dan ku lihat, memang benar, ternyata hujan itu sangatlah indah. Pelangi berlahan menghilang, mentari perlahan bersembunyi, dan hujan pun berhenti mengirimkan airnya. Aku menarik nafas dan berkata, “aku akan memberikan puisi ini untukmu malam, berharap sang rembulan dan ribuan bintang berganti menemani kepiluan bumi.” Dengan senyuman aku menerbangkan pesawat kertasku keangkasa, sayup-sayup tak jelas aku melihat pesawat kertasku terbang, terombang ambing tersapu angin, hingga jauh dan semakin jauh hingga akhirnya terjatuh di bangku panjang disana jauh dari rumahku, tempat kami berdua dengan ukhti duduk bersama sambil menunggu azan maghrib hampir disetiap sore hari, tapi tidak untuk hari ini.


Azan maghrib pun diperdengarkan dari setiap sudut pengeras suara yang ada di puncak menara masjid dekat rumaahku, ibukku pun mempersiapkan lampu minyak disetiap sudut ruangan, bapakku bersiap-siap berangkat kemasjid “akhi... ayo kita kemasjid,,, “ perintah bapak mengajakku shalat berjamaah, bergegas aku berjalan kemasjid. Aku melihat dari kejauhan ukhti mengenakan mukena putih kekuningan, dan berjalan bersama bapak dan ibunya. Tapi ia tidak melihatku, karena waktunya shalat hendak dimulai, aku langsung masuk ke dalam masjid.


Setelah shalat selesai dan dilanjutkan aku mengaji bersama teman-teman yang lainnya.
Setelah mengaji selesai kami bergegas pulang kerumah masing-masing, dari belakang ada seorang wanita yang memanggilku “akhi anterin aku pulang yaaa?” akupun langsung berbalik badan dan aku langsung mengiyakan, seperti biasa ia selalu memintaku mengantarkan pulang mengaji, dalam perjalanan kami sama-sama diam dan sampai depan rumahnyapun kami masih saling terdiam. Setelah ia berterimakasih kemudian ia mengambil sesuatu dari saku bajunya, “akhi... ini untukmu...” dan kemudian dia langsung masuk rimah, dia memberikan sebuah surat untukku.


Sesampainya aku di bangku dekat masjid, aku duduk disana dan ternyata pesawat yang aku terbangkan tadi masih ada disana. Dengan berlahan aku membuka surat itu, dan ternyata didalamnya ada fotonya, dia memberikan foto untukku, karena tulisannya tidak bisa dibaca karena gelap dan aku langsung menuju rumah, sesampainya di rumah aku kembali membuka surat darinya.


“assalamualaikuum...
Akhi... maaf aku sengaja memberikan foto untukmu, karena aku ingin kamu selalu mengingatku nanti ketika aku sudah tidak ada disini lagi.


Akhi... jujur selama aku mengenalmu, banyak sekali yang aku dapat dari kamu, terutama kesetiaanmu menjadi teman dekat ku...
Akhii... BERSAMBUNG...

by. Banyu mili

11 September 2013

kabari hujan

bukankah Tuhan tidak pernah murka
akan hamba-Nya yang berjalan dalam proses mencintai-Nya..?

ketika kita lemah, tanpa kita sadai Dia sedang memberi tahu
bagaimana cara menumbuhkan kekuatan itu..

ketika kita menangis bukan karena-Nya,
tanpa kita sadari hati kecil kita bersedih karena-Nya...

itu semua membuat kita sadar,
bahwasannya kita mampu dalam hal apapun karena-Nya...

segala sesuatu dimuka bumi ini telah ada skenarionya,
biarkan kita berjuang keras melawan virus itu saat ini.
agar skenario-Nya indah diakhir kisah perjuangan itu...

kuatkan aku demi nama cinta pada-Mu,
seperti langit yang selalu menguatkan bintang,
seperti angin yang setia pada ilalang,

pahami
seperti sungai yang selalu paham pada laju air,
seperti tanah yang bertahan pada hujam tajamnya sang hujan,

benar memang...
sebuah rasa yang terlalu berat...
bula jujur tak sanggup...

biarlah

cukup berbagi degan sepi,,, sendirian,,,
cukup ku nikmati bersama sang malam...
karena cinta-Nya...




by. Banyu mili

-pengakuan sang anak hujan- part 2


tanpa sadar air mataku bercucuran dipipiku, seseorang yang pernah membuatku terasa lebih hidup dan berarti kini ia kembali dan membalas suratku meski aku sudah lupa isi suratku yang dulu aku kirim, langsung saja aku membuka isi lokerku dan mengenang kembali masa lalu saat kami masih kelas 4 MI, foto yang selalu mengingatkan pada masa itu. Senyumpun tak terbendung lagi sebentar sendu sebentar riang, aku juga bingung apakah ini adalah perasaan senang atau memang ada ikatan tersendiri di antara kami.


suatu hari disudut sore saat langit menjatuhkan air berupa hujan yang berwarna kemerahan karena senja, titiknya kembali melukiskan kenangan di tanah, basah, teringat ketika kecil dulu berlari sepulang mengaji bersenang ria, berhujan-hujanan bersama teman-teman. kini meringsut, satu jiwa di sudut sepi sampaikan irinya pada sang bintang dan rembulan yang sejak tadi masih sembunyi di balik langit memandang warna memadu romansa, pikirku membayang dua jiwa berjumpa di pinggir kenangan yang teraba kais semua sisa milik mereka entah itu asa atau itu nyata atau juga harap yang tak kunjung nyata. teringat kembali cerita masa kecilku saat bermain bersama sang uhkti di pinggiran sungai dibawah pohon jambu, dengan ditemani puluhan ekor bebek yang riang berenang dan bernyanyi, hari ini tanggal 14 juni 2006 hari ini adalah ulang tahunnya yang ke 17 sedangkan esok 15 juni 2006 adalah ulang tahunku yang ke 18 tahun. Huuuh ternyata sudah sekian lama cerita ini tak bersambung, sudah hampir 9 tahun cerita kami berdua terhenti.


Setiap kali aku melihat semua surat-surat yang pernah ia berikan untukku, aku pasti meneteskan air mata, cengeng memang, tapi memang aku selalu dibilang anak cengeng sama dia. Dalam kesendirianku dimalam ini aku mengingat kembali kenangan-kenangan ku sama dia, saat pulang sekolah bareng, berngkat ngaji bareng, angon bebek bareng, ngerjain pr bareng, dan masih banyak lagi yang kami lakukan secara bersama-sama. Teringat suatu saat dulu ketika kami berdua pulang sekolah bareng, dia selalu naik sepeda bersamaku, sebenarnya jalanan di desaku masih aspal tanah dan masih banyak batu kerikilnya, tapi sebagian besar temen-temenku memang membawa sepeda kalau berangkat sekolah dan cuman aku sendiri yang selalu boncengan sama temenku ukhti, yaaaah memang karena aku tidak punya sepeda dan ukhti memang tidak bisa naik sepeda sendirian. Kala itu di tengah perjalanan dia memintaku untuk mengajarinya bersepeda, tapi aku menolaknya untuk mengajarinya karena siang tadi hujan lebat dan jalanan masih licin, tapi dia memaksaku untuk mengajarinya, terpaksa aku mengajarinya. Jalan dipinggiran sungai memang benar-benar licin apalagi aku harus mendorong dan menahan sepeda yang ditumpanginya karena aku masih takut karena baru kali ini dia belajar bersepeda dengan kondisi jalan yang sperti ini. Tiba-tiba sepeda tak tertahan olehku karen tidak disengaja sepeda menabrak batu didepannya, karena tenagaku kalah dengan sepeda maka kami berdua terjatuh di sungai. Kami berdua tertawa terbahak-bahak, karena sudah kepalang tanggung basah kami langsung bermain air dan diwaktu yang bersamaan hujan kembali turun menemani kami berdua yang sedang asik bermain air di sungai.


Sesampainya dirumahnya kami kena marah sama bapak dan ibunya, karena baju kami kotor semua sedangkan besok masih memakai baju yang sama, aku langsung meminta maaf dan berpamitan pulang. Keesokan harinya dia tida masuk sekolah dan ibu guru mananyakan kepadaku, “akhi kemana ukhti? Kenapa hari ini dia tidak masuk sekolah?”  aku diam saja tiba-tiba ada temanku yang memberikan surat keterangan sakit dari orang tua ukhti. Ketika jam istirahat aku menanyakan keadaan ukhti sama temenku namanya mas sobri, dan katanya dia sakit panas. Sepulang sekolah aku tidak langsung pulang kerumah, aku mampir terlebih dahulu kerumah ukhti untuk mengetahui keadaannya. Memang benar sesampainya aku dirumahnya dia masih terbaring di kasur dan badannya memang panas, lalu aku meminta maaf padanya, karena kemarin aku sudah mengizinkannya untuk belajar bersepeda dan akhirnya sampai jatuh kesungai. Tapi dia malah menjawab “akhi,,, tidak apa-apa ini juga salahku kok, yang memaksamu mengajariku bersepeda, akhi aku mintak kamu bacakan satu puisi untukmu sekarang”. Karena memang aku merasa bersalah maka aku turuti kemauannya.

“kemarin...

Saat hujan kembali turun, saat pelangi hendak menampakkan diri
Saat burung-burung sedang asiknya berhujan-hujanan, saat angin menyapu rerumputan,
Aku melihat wajahmu penuh kasih, wajahmu terlihat sangat manis saat kau suguhkan satu senyuman untukku...

Dan hujan menyambut senyumanmu dengan meriahnya
Saat itu pula aku mulai merasakan bahwa aku sangat memperhatikanmu,

Dan kini

Aku sangat mengkhawatirkanmu...

Kembali ia menghadiahkan satu senyuman seperti kemarin untukku.


13 januaari 2000 “Akhi... akhi... akhi... kamu tau gak kenapa Tuhan menurunkan hujan?” dia bertanya dengan begitu serius “yaaa karena Tuhan sayang sama makhluk-Nya dan hamba-Nya makanya Allah turunkan hujan...” dia diam sejenak dan tersenyum memperlihatkan lesung pipinya, “itu salah satung akhi,,, tapi ada alasan lain kenapa Allah turunkan hujan, Allah menurunkan hujan untuk kita berdua akhi, aku adalah hujan bagimu, setiap tetes hujan maka aku ada dalam tetesan itu, aku selalu ada setiapkali hujan turun dan menghampirimu...” tersentak aku sejenak, ini pertama kalinya ia berkata seperti itu. Rintik hujan mulai membasahi rerumputa disekeliling dan mulai membasahi kami, “akhi... Tuhan telah mengabulkan do’aku... aku meminta hujan turun untukmu..” aku masih diam seribu bahasa, sejenak aku memandangi langit kutarik nafas dalam-dalam dan kuhembuskan, kembali aku memandang wajahnya yang mungil dan manis, kemudian aku berkata “ukhti coba lihat disana, ada seekor semut yang sedang menikmati kedatangan rintikan hujan, mungkin ia sedang kehausan karena seharian tak turun hujan, walau pohon itu ada di pinggir sungai, tapi kenapa ia memilih menunggu hujan turun ketimbang mengambil air di sungai ini,,,?” dengan senyuman ia menjawab pertanyaanku “akhi aku juga gak tau kenapa, mungkin memang hujan adalah suatu berkah yang sangat luar biasa untuk semua makhluk-Nya..”.


Sore itu aku, ukhti, paman sedang menggiring bebek menuju kandangnya. Kemudian pamanku menyampaikan sebuah kata-kata “sore ini hujan rintik belum terpejam/ cinta masih beku/ rindu masih hambur/ sajak-sajak menggamit semua kerinduan dan keheningan/ menanti luruh dengan hadirmu bersama rinai hujan... akhi, ukhti kalian berdua boleh pulang biar paman sendiri yang menggiring bebek-bebek ini masuk kekandang” dengan senyuman kami lalu berpamitan kepada paman, di persimpangan jalan dia menyodorkan secuil kertas untukku, dan ia berkata “akhi tolong dibaca setelah akhi sampai dirumah” aku langsung mengambil surat iru dan kami berpisah disini menuju rumah masing-masing, dan dia kembali memberikan senyum dan lesung pipihnya. Sesampainya dirumah aku duduk di kursi bambu reot buatan bapak, sambil memandangi hujan pelan-pelan aku membuka kertas ini, dan aku membaca surat itu untuk hujan.


Awan-awan untukmu
Mungkin ini hanya lukisan tentang rinai-rinai rindu sang hujan
Atau semacam nostalgia gerimis...
Mungkin juga getar dawai hati yang sunggu ku berikan untuk sang hujan
Kesejukan menyusup saat hujan datang dan aku bercerita padanya tentangmu
Saat kuhitung butira-butiran embun pada daun
Ada wajah tersenyum bercermin pagi itu
Pada setiap gugusan bening
Kumemandangnya dari sudut kamarku dijendela ini aku melihatmu tersenyum padaku
Sore ini tak banyak yang ingin ku katakan
Di hatiku
Awan-awan untukmu...
Akhi semoga kamu bisa mengingatku saat kamu tertidur dan bermimpi
Berlari diantara ilalang bercanda ria disana,
Di bawah pohon jambu tempat kenangan kita berama bebek-bebek nakal milik paman saipul.
Semoga kamu memahami hati ini...


Berulang kali aku membaca surat ini, dalam hati berkata “akankah kau selalu disini untukku uhkti...” huuuh memang seminggu lagi ia dan keluarganya mau pindah ke jogja, setiap saat, setiap waktu aku berulang kali membaca surat itu, biar kata-kata yang ada dalam surat itu bercampur menjadi satu dengan darahku.


15 januari 2000. saat kami pulang sekolah aku melihat dia sepanjang jalan hanya diam, kuhentikan laju sepeda dan aku bertanya “ukhti kenapa hari ini kamu diam? Biasanya kamu paling cerewet kalau naik sepeda bersamaku” dia masih saja diam “ukhti apa kamu marah sama aku karena tadi pagi aku berangkat sekolah gak jemput kamu dulu?” diapun masih saja diam kemudia aku memberikan senyuman untuknya, lalu ia berkata “besok ayahku mau datang kesekolah, meminta surat pindah sekolah sama pak kepala sekolah” kembali ia terdiam dan memasang wajah murungnya. “akhi.... BERSAMBUNG...

 by. Banyu mili




8 September 2013

Romo Biyung

ada darahmu di darahku,

ada matamu di mataku,

ada goresan wajahmu di wajahku,

ada rambutmu di rambutku,

ada air matamu di doamu,

ada doamu di hidupku,

ada tanganmu di kasih sayangmu,
ada kasih sayangmu di dadaku.

-pengakuan sang anak hujan- part 1


" untukmu sahabatku...


salam buat penghuni bumi salam indah seindah mutiara sebening telaga kautsar dan sesejuk zam zam yang jika direguk dapat menghilangkan dahaga Assalamualaikum ya ukhti...
ukhti saat ku menulis surat kecil ini, hujan datang dengan gemetar, di atap bubungan seperti berkejaran beradu cepat dengan halilintar, menggigil daun-daun berkerut sayap-sayap burung berteduh dibawah angin yang berpusar takut-takut
-berdoalah-


katamu sebab Tuhan memberikan berkah lewat hujan datang, aku mengeja kata-katamu kudapati matamu penuh pasti, cepatlah, selagi hujan masih ada.

puisi-puisi yang bertebaran di mataku, sajak-sajak yang lindap dalam mimpi-mimpimu
kau pernah katakan bahwa rindummu terpasung waktu dulu. ketika kau masih berjarak demikian jauh dariku dan aku pernah berimu jawab jua bahwa aku akan mencuri waktumu meski sekejap untuk kita pada sisa hari. tapi, kini kau makin berjarak dariku, kau sendiri atau waktu kah yang makin memasung rindumu? dalam jeda hari ini, kukenang bait demi bait puisimu, ukhti... dengarkan dan rasakan  setiap hujan menghampirimu karena hujan adalah puisiku..

wassalam...”

NB. Tolong jawab suratku secepatnya..


Begitulah isi surat yang aku rangkai hampir semalaman, keesokan harinya aku mengirimkan surat itu lewat pos dan mengirimkannya ke jogja, berharap besar dalam hatinku agar surat itu segera sampai dan segera mendapat balasan. Dari hari kehari, surat pun belum ada jawabannya aku mulai mempertanyakan dalam hati “apakah kau sudah lupa padaku hingga suratku tak kunjung kau balas” . sekian lama aku menunggu jawaban surat tapi tak kunjung datang, hingga akhirnya aku memutuskan untuk melupakan masalah jawaban.


Disatu malam aku termenung sendirian dibawah binarnya sang rembulan ditengah-tengah angin bertiup kencang dan rintikan hujan yang semakin lama semakin membuat tubuhku basah, malam itu aku berbicara pada hujan dan mempertanyakan tentang perasaanku kepada hujan, “jika kau adalah puisi, maka puisi itu adalah hujan yang menikam bumi dengan tajam...”. dalam hatiku sudah berniat untuk melupakan semua yang aku harapkan, dan kembali menjadi orang biasa, yang disibukkan dengan aktivitas kehidupan dan aktivitas sekolah. Dalam kesehariannya aku adalah seorang yang sangat pendiam dan sangat taat beribadah aku dilahirkan dari keluarga bisa dibilang cukup di kampungku, ibuku yang bekerja sebagai guru MI di desa dan di desaku belum ada sekolah negeri yang ada adalah MI, MTs, dan MA. Bapakku bekerja sebagai penerima jasa jahit pakaian.


Setiap kali aku pulang sekolah aku langsung membantu pamanku untuk menggembala bebek yang jumblahnya dibilang banyak, aku sangat senang dengan suasana desa yang masih sangat alami dan selalu membuatku betah berlama-lama disini, hingga pada suatu tempat dibawah pohon jambu dipinggiran sungai, aku teringat pada sahabatku yang beberapa tahun yang lalu sebelum dia meninggalkanku karena orang tua yang pindah ke tanah istimewa jogja, masih terbayang dimataku saat aku membuatkan mahkota dari daun kopi dan membuatkannya cincin dari rerumputan, kami bagai seorang raja dan ratu yang berada di istana besar, dengan saling memegang tangan, kami berdua membuat sebuah janji “ya Tuhan jangan pisahkan kami dalam keadaan lupa, pusahkan kami hanya raga kami yang terpisah tapi hati kami selalu dekat, dibawah pohon jambu ini yang akan mempertemukan kami lagi disuatu saat nanti... amiiin” suasana itu diabadikan dengan meminta pak poling (poto keliling) untuk mengambil foto kami berdua.. dan kami meminta untuk dicetak menjadi dua, keesokan harinya sahabatku berpamitan sebelum berangkat dan ia berkata padaku “akhi kabari aku...” aku hanya diam dan tak bisa berkata apa-apa, orangtuanya yang juga sangat dekat denganku dia menitipka barang berupa sepeda ontel untuk membantuku pergi sekolah dan belia berpesan “akhi jadilah orang yang kamu inginkan... “ kata-kata itu yang selalu membuatku teringat pada keluarga besar sahabatku, sebelum dia pergi aku memanggilnya “ukhti... tunggu sebentar, ini untukmu, semoga kamu selalu ingat padaku...”  aku memberikan satu foto kenangan yang kami abadikan ketika kami saling berucap janji dan satu surat yang berisi kata-kata janji kami berdua.

Huuuh... akhi... akhiii sedang apa kamu disana... dari kejauhan pamanku memanggil, “akhi hari sudah sore mari kita pulang” padahal aku masih betah memandangi tempat istimewaku yang selalu membuatku ingat padanya.

Sesampainya dirumah aku langsung mandi dan shalat asar setelah itu aku buka lagi foto kami berdua dan surat yang berisi janji kami berdua,  dalam pikiranku aku ingin membuat surat untuknya lagi, setelah selesai aku membuat surat aku kembali termenung bahwa aku sudah berjanji untuk melupakannya, mungkin ia sudah sangat bahagia disana dan sudah melupakannku.



Beberapa tahun kemudian ketika aku lulus MA pamanku memanggilku “akhi sini dulu... tadi paman dari kantor pos, dan pak pos menitipkan surat ini untukmu...” dan aku berkata “terimakasih paman...” sesampainya dirumah, dengan baju yang penuh dengan warna warni sehabis coret-coretan sama teman untuk merayakan kelulusan kami. Langsung aku masuk kamar dan membaca surat itu,.,.


 “untukmu sahabatku akhi..


salam buat penghuni bumi salam indah seindah mutiara sebening telaga kautsar dan sesejuk zam zam yang juka direguk dapat menghilangkan dahaga Assalamualaikum ya akhti...


maaf akhi sebelumnya suran akhi 6 tahun yang lalu tidak ku balas karena waktu itu keluargaku sedang ada musibah, abiku meninggal dunia karena sakit jantung,aku menerima surat dari akhi setahun setelah akhi mengirim surat itu dari  umi, dan umi berkata ukhti maafkan umi surat dari akhi baru umi kasih sekarang karena umi lupa mengasihkannya. Akhi aku menangis saat membaca suratmu, T_T..


Akhi terimakasih akhi sudah selalu ingat sama ukhti, lebaran nanti aku sama umiku mau pulang kekampung untuk berjiarah ke makam mbah putri sama mbah kakung. Akhi aku merindukanmu...
Sajak-sajakku lindap dalam mimpimu ketika kau diam-diam mencuri waktuku. Pantas, ku sering kehilangan malam-malamku hingga yang kudaati hanya senja di bibir waktu, akhi? Sejak kapan kau terbiasa mencuri waktuku, sejak aku melihat senyum, batari.


Kupu-kupu lindap di remput perdu bunga sore merekah penuh itu yang akan amenyambutmu ketika kau juga ingin mencuri hatiku. Sejak kapan kau mencoba mencuri hatiku, akhi? Sejak kau suguhkan senyum dan mahkota untukku.


Senja yang kau sisikan kini, telah mengendap di ruang kalbu mungkin kali ini, malam akan kau curi lagi diam-diam.

Akhi kusuguhkan sore yang berbeda, akhi sore dengan tarian hujan yang riang, sore dengan pelangi yang nanti akan datang dan sore dengan daun-daun yang rekah mengembang.
Kusuguhkan sore yang berbeda, akhi biar bisa kau kenang saat senja tiba.
akhi... dengarkan dan rasakan  setiap hujan menghampirimu karena hujan adalah puisiku..

wassalam...



tanpa sadar air mataku bercucuran dipipiku, seseorang yang pernah membuatku terasa lebih hidup dan berarti kini ia kembali dan membalas suratku meski aku sudah lupa isi suratku yang dulu aku kirim, langsung saja aku membuka isi lokerku dan mengenang kembali masa lalu saat kami masih kelas 4 MI, foto yang selalu mengingatkan pada masa itu. Senyumpun tak terbendung lagi sebentar sendu sebentar riang, aku juga bingung apakah ini adalah perasaan senang atau memang ada ikatan tersendiri di antara kami... 
BERSAMBUNG... 





 by. Banyu mili

7 September 2013

serangan tentara hujan dan penyihir angin

haha aku terjebak disana

milyaran hujan menyerangku tanpa ampun
setiap elak ku selalu sia sia
tubuhku di lumuri darah olehnya
rambut dan mukaku dibanjiri senjata hujan

ada kesempatan ku berlindung dari serangannya
dasar penyihir angin
ia kirimkan mantera pamungkasnya
dan dingin masih bisa menemukanku
ia mencabik cabik kulitku
dan ia menggerogoti tulangku

petir dan halilintar tertawa akannya

tubuhku yang sudah koyak di terjang hujan dan angin
mendekap diam, memelas pada kehangatan
hingga hujan lelah mencariku yang bersembunyi
ia pergi, ia menghilang dari dunia kua
dan
tubuh lemasku tergeletak di teras kampus

saat hujan menghilang
masih ada sisa sisa darinya
yang masih semangat menyerangku
dengan tertatih aku berjalan mencari perlindungan
dingin semakin menjadi jadi
ia bekukan darahku
ia ambil kehangatanku