" Assalamualaikum warahmatullah...
malam yang hening...
dengan diiringi tarian lampu di sampingku yang terus menerus tertiup angin...
kadang redup kadang terang, tergantung seberapa kuat angin meniupnya...
angin menghembuskan rindu
yang dititipkan dari jauh
saat daun serta kelopak bunga
berjatuhan susul menyusul
aku mereka senyum, mencoba memeluk rasa yang kau simpan jauh,tak kudapati.
Hanya sepenggal desah di ujung air mata masih sama seperti saat ku hendak pergi
Sepuluh tahun yang lalu.
Hanya ini yang aku ingin sampaikan padamu,
Rindu yang kian merasuki dan kian menggunung,
Tapi ku harus mulai meluluhkannya,
Kita bukan seperti dulu,
Kita sudah berbeda,
Berbeda jauh, hanya waktu yang bisa menjawab.
afwan akhi...by. Sahabatmu ukhti.
wasalam...
Singkat tapi memilukan, masih ku tertunduk diam bersandarkan pohon ini, warna langit yang kian memudar, dan malam mulai menyambut. Ditemani bebek pamanku yang tertinggal dari kawanannya, sepuluh tahun tidak bertemu dan tadi benar benar nyata aku melihatnya tersenyum padaku, tapi akupun tidak tau kenapa dia mereka senyum?
Dan lagi lagi aku harus seperti ini, menjauh dari semua yang aku anggap bisa menyempurnakan. Aku selalu merasa dia tidak akan berubah, tapi ini berbeda dan ini salah, dia tidak seperti surat – surat yang ia kirim, apakah ini sebuah pertanda kalau aku harus berhenti ataukah ini hanya sesaat. Hari ini meski tergores luka Meski berurai air mata Dan akhirnya tersimpul senyum manis kecil. Detik tadi saat ku baca surat itu meski beragam kepiluannya berselang sedikit tawa.
Aku yakin surat itu benar benar untuk menyadarkanku yang selalu merindukannya. Dan saat terkadang rindu terucap dalam pikiranku, membuatku hilang akal hingga syaraf, tubuh tak kuasa berlaku, matapun tak mampu terpejam dan meski sekejap seperdetikpun saat kata rindu mulai larut dalam darah. Mengosongkan segala rongga dada terkadang membuatnya penat hingga sesak, entah rasa apa ini bibirku terkatup menanti hingga jawabku temu, sampai kini.
“Bukan cukup menanti
jangan pula hanya mengutus angin menemui sang hujan
Berikan ketulusan pengharapan itu
Agar sang hujan sadar
Begitu berartinya ia dalam penantian asa sang semut
Agar sang hujan tau
Sakitnya menunggu jawaban yang tiada pasti itu
Hingga akhirnya ia sadar
Dan ia rela menjatuhkan diri
Terkutuk
Tiada lagi menjadi hujan
Dan
Hujan bukan enggan membalas surat rindumu
Terlalu berat untuknya
Memilih kasih atau patuh
Bukan pula ia tak cinta
Pahami segala takdirnya
Sebagai sang hujan
Karena setiap detiknya
Bukan kehendak dan maunya
Cukup paahami itu
Hujan bukan sosok yang cinta pujian
Sungguh
Setiap tetesnya mengalir pula keikhlasan hati
Pula masih begitu banyak yang ia ajarkan
Dan aku dapat berharap seperti ia”
Aku hanya berpuisi sendiri disudut sepi dimalam ini yang masih bersama bebek yang meringkuk kedinginan di kakiku, kugendong bebek itu sebagai temanku pulang, hanya kilatan kilatan petir yang menerangi ku berjalan pulang, bersama gerimis yang semakin mengguyur tubuhku, kini sama – sama dingin kurasa, dan malam sudah lelah meretas geming ini rembulanpun datang menggantikan petir – petir mengagetkan tapi hujan tak kunjung menghilang di sepanjang perjalananku pulang, semut yang biasanya sembunyi di balik dedaunan kini bebas bergerak berlarian mencari tempat yang lebih teduh.
di pucuk hening ku titip salam kata rindu yang semakin menggebu, meski siang tadi usai bertemu, bisakah kembali untukku hujan datanglah kembali, seperti dulu sepuluh tahun yang lalu.
Sesampainya di rumah aku masukkan bebek itu dalam kandangnya, dan saat aku mengetuk pintu dan membukanya, dengan pakaian basahku aku meringkuk memeluk tanganku sendiri, aku melihat disekeliling ruang tamu tidak ada siapa – siapa, di dapurpun tidak ada, lalu aku putuskan untuk mandi sejenak.
Bersambung...
by. Sapariyanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar