2 Oktober 2013

pengakuan sang anak hujan part 5

“benarkah kamu ukti sahabatku...?”

kataku,  semua mata menuju kepadanya, wanita itu memberikan senyuman dan berkata

“iya...”           

Aku tak dapat berkata-kata setelah mendengar jawabannya, semua teman-temanku masih saja terdiam bingung sama sepertiku masih tetap terdiam.  Sekian lama kami tidak saling bertemu, hanya lembaran – lembaran surat yang mempertemukan kami.

"benarkah kamu ukhti sahabatku...? kamu yang mengirim surat ini untukku kan...?"

Sekali lagi aku bertanya, sejenak suasana menjadi sepi, hari semakin gelap masih ditemani dengan rintik hujan dan angin yang bertiup mengoyangkan rerumputan sekitar. 

 "iya... itu aku yang mengirimnya, terimakasih sudah membacanya..."  

Jawabnya. Teman - temanku tetap terdiam, dan satu persatu mulai memecah kesunyian dengan menanyakan kabar padanya, tapi tidak denganku, aku masih mencoba menerjemahkan perasaanku saat ini, apakah ini rasa senang bertemu dengan sahabatku kembali ataukah ini rasa yang penuh dengan ambang kebingungan, apa yang harus aku lakukan? akupun tidak tau.

hujan masih tetap menemani kerinduan – kerinduan diantara kami, berisiknya sungai menambah suasana seperti kembali seperti dulu saat - saat setiap kali pulang sekolah dan berdiam sejenak ditempat ini.  Sekian lama aku bersama teman - teman ku menikmati suasana melepas rindu akan kenagan - kenangan masa lalu ketika masih sekolah, saling menanyakan kabar, saling menyombongkan kehebatannya, menyombongkan prestasi – prestasi yang sudah tercapai, tetap aku dan dia tidak berani berkata – kata dan tertunduk malu saat mata bertemu pandang.

TERAPUNG DAN PERGILAH...

Suasana ini mengingatkanku dulu, hampir setiap kali pulang sekolah bersama teman – temanku berdiam ditempat ini, saat memancing dan menunggu umpan kami ditarik oleh ikan, hari itu tidak seperti biasanya yang selalu ditemani hujan, sore itu hujan telah berhenti dan digantikan oleh warna abu abu pada langit, kemudian aku mengambil sebuah buku dari dalam tasku dan aku mulai menulis satu kata demi kata yang kurangkai hingga menjadi sebuah kalimat yang indah yang kunamai puisi.

“ SANDIWARA SORE y_y

Percik

Hujan menyudahi sore yang bersandiwara
Keinginjumpaan didendangkan kekakuan
Pada tiap helai daun yang menari dingin
Melukis harap, cemas, takut

Rindu

Mencoba mengeja pelangi
Yang sempat dilukis
Sebelum surya menutup hari
Dengan senyum yang beku.”


Aku menghela nafas panjang dan aku memandang langit sejenak yang masih diselimuti mendung sisa – sisa hujan tadi, tiba – tiba dari arah belakang sobri sahabatku yang lain merampas bukuku dan sambil berlari – lari ia membacakan puisi yang belum selesai kubuat. Soleh, andri, dan imam menertawakanku, langsung saja aku mengejar sobri untuk mengambil buku itu tapi sobri masih tetap berlari dan melemparkan buku itu ke arah soleh, kukejar buku itu tapi soleh kemudian mengambilnya dan kembali melemparkan buku itu ke arah sobri,   

            “akhi... akhi... akhii... umpanmu ditarik ikan besar, bantuin aku menariknya siniii..!!!”


sambil berteriak imam yang tadi menertawakanku kini ia menertawakan pancingku yang susah ditariknya, ketika sobri sedang menoleh kearah imam dan langsung saja aku mengambil buku yang ada ditangannya, memang arus sungai sore ini lebih deras dari hari – hari sebelumnya, dan soleh membantu imam menarik pancingku,

            “ikannya besaaaaaaarrr!!!”


teriak imam, tapi karena arusnya yang cukup deras dan mungkin ikannya juga besar tali pancingku putus dan wajah kami yang tadinya riang berubah menjadi topeng kekecewaan karena tali pancingnya putus sehingga kami tidak jadi mendapat ikan besar sore ini. Kami masih memasang muka kecewa tapi sobri tidak dan dia kembali mengejekku

“akhi itu puisi buat ukhti yaa...? hahahahaa... sudahlah sooob, ukhi itu sudah ndak di sini lagi, mungkin dia sekarang sudah mendapatkan teman baru di sana, jadi gak usah sedih terus menerus.”


Celoteh sobri yang mencoba menjelaskan sesuatu padaku padahal memang dia orangnya sok tau tapi sok menjelaskan yang sudah aku ketahui masal itu,

“benar apa kata sobri akh biarkan dia menggapai cita – citanya dengan caranya sendiri, sahabat kan tidak selalu bersama – sama”


kata soleh menambahkannya, dalam hati berkata kenapa mereka  mengatakan seperti itu, padahal puisi ini bukan untuk dia, dan puisi ini juga belum selesai kubuat. Perasaanku jadi tidak enak gara – gara puisi yang kubuat barusan jadi gak ceria lagi suasana memancing ini.  Aku mengambil ranting kayu dan kubungkus dengan kertas puisiku tadi

            “wahai air bawalah kertas ini kemana kau mau, jangan bawa kertas ini kembali padaku, mengaung dan pergilah dari sini...!!”.


Teriakku sambil melemparkan kertas itu, dan sejak saat itu aku memutuskan tidak lagi mengenang masa – masa bersama sahabatku yang sudah memilih untuk belajar jauh di sebrang pulau ini.

* * *

Tiba – tiba dia menghampiriku dan dia mengulurkan sebuah surat kepadaku, dan dia berpamitan padaku kalau dia besok pagi sudah harus kembali ke jogja. Hanya itu yang dia sampaikan padaku. Semakin sore dan hari semakin berlalu semua teman – temanku mulai berpamitan untuk pulang, hingga akhirnya tinggal aku, soleh, imam, dan sobri,

            “akh... dia ngasih surat lagi buat kamu..?”


Kata sobri, aku terdiam sejenak dan aku menganggukan kepala mengiyakannya. sungguh singkat hari ini belum sempat ku menikmati keindahan dan arti hari ini, tapi ia (sore) sudah enggan berlama - lama bermain denganku, dengan kita, dengan kami. di ufuk timur nan jauh disana langit melukis pelangi dibawah awan abu abunya, burung - burung berterbangak menuju sarangnya hendak melepaskan rasa lelah seharian ini, kini tinggalah aku sendiri ditempat ini di tempat penuh dengan kenangan manis, kenangan masa - masa itu.  sobri, soleh dan imam berpamitan pulang dan aku masih enggan untuk melangkah meninggalkan tempat ini, aku ingin berlama - lama di tempat ini, udara ini, angin ini, pelangi itu, rinai hujan memperindah suasana. perlahan aku mengambil buku dan aku mulai mengeja kata, belum jadi aku hendak menulis aku teringat surat yang ia beri tadi, suara itu, senyuman itu dan tatapan mata itu, masih sama seperti 10 tahun yang lalu.

perlahan aku membuka isi amplopnya, dan kubuka kertas itu, ku mulai membaca surat itu dengan helaan panjang.

"  Assalamualaikum warahmatullah...

malam yang hening...
dengan diiringi tarian lampu di sampingku yang terus menerus tertiup angin...
kadang redup kadang terang, tergantung seberapa kuat angin meniupnya...BERSAMBUNG...

By. Banyu mili

Tidak ada komentar: