5 Desember 2013

pohon

Dalam sebuah perjalanan seorang ayah dengan puteranya, sebatang pohon kayu nan tinggi ternyata menjadi hal yang menarik untuk mereka simak. Keduanya pun berhenti di bawah rindangnya pohon tersebut.

“Anakku,” ucap sang ayah tiba-tiba. Anak usia belasan tahun ini pun menatap lekat ayahnya. Dengan sapaan seperti itu, sang anak paham kalau ayahnya akan mengucapkan sesuatu yang serius.

“Adakah pelajaran yang bisa kau sampaikan dari sebuah pohon?” lanjut sang ayah sambil tangan kanannya meraih batang pohon di dekatnya.

“Menurutku, pohon bisa jadi tempat berteduh yang nyaman, penyimpan air yang bersih dari kotoran, dan penyeimbang kesejukan udara,” jawab sang anak sambil matanya menanti sebuah kepastian.

“Bagus,” jawab spontan sang ayah. “Tapi, ada hal lain yang menarik untuk kita simak dari sebuah pohon,” tambah sang ayah sambil tiba-tiba wajahnya mendongak ke ujung dahan yang paling atas.

“Perhatikan ujung pepohonan yang kamu lihat. Semuanya tegak lurus ke arah yang sama. Walaupun ia berada di tanah yang miring, pohon akan memaksa dirinya untuk tetap lurus menatap cahaya,” jelas sang ayah.

“Anakku,” ucap sang ayah sambil tiba-tiba tangan kanannya meraih punggung puteranya. “Jadikan dirimu seperti pohon, walau keadaan apa pun, tetap lurus mengikuti cahaya kebenaran,” ungkap sang ayah begitu berkesan.**

Keadaan tanah kehidupan yang kita pijak saat ini, kadang tidak berada pada hamparan luas nan datar. Selalu saja ada keadaan tidak seperti yang kita inginkan. Ada tebing nan curam, ada tanjakan yang melelahkan, ada turunan landai yang melenakan, dan ada lubang-lubang yang muncul di luar dugaan.

Pepohonan, seperti yang diucapkan sang ayah kepada puteranya, selalu memposisikan diri pada kekokohan untuk selalu tegak lurus mengikuti sumber cahaya kebenaran. Walaupun berada di tebing ancaman, tanjakan hambatan, turunan godaan, dan lubang jebakan.

“Jadikan dirimu seperti pohon, walau keadaan apa pun, tetap lurus mengikuti cahaya kebenaran.”

...

Sahabat, Jadikan dirimu seperti pohon, walau keadaan apa pun, tetap lurus mengikuti cahaya kebenaran,” Siapapun Anda, bagaimanapun Anda, dan Dimanapun anda... tatap dan ikutilah cahaya lurus kebenaran... karena bila tidak anda akan tersesat dalam kegelapan. Dan Bila terperangkap dalam gelap, jangan mengutuki kegelapan, tapi nyalakan lah cayaha walaupun dengan Lilin...

cerbung "pengakuan sang anak hujan" part 7

Sesampainya di rumah aku antarkan bebek itu ke kandangnya, dengan pakaian basahku aku meringkuk memeluk tanganku sendiri.  Selepas ku melaksanakan solat magrib, aku duduk di depan tv dengan ditemani secangkir teh berharap bisa menghangatkan tubuhku, malam sudah larut tapi hujan belum juga lelah bergeming, dingin ini memanja malam ini merayuku, merajuk, ketika ku bisikan aku tidak menyukai suasana ini yang teramat dingin, tapi ia berusaha terus memikatku, melumpuhkanku, hingga kedasar tulangku.  Saat sesekali kulirik jendela yang terus berbunyi oleh angin, gemuruh angin dan petir saling menyambar, ia mencoba mengeringkan mataku godanya begitu kuat.  Hingga pada penghujungku terlelap dengan acara tv yang berisik sendiri.

Sepertiga malam ku terjaga, ku amati seisi rumah masih kosong tak berpenghuni selain aku, aku tidak tahu kemana bapak dan ibuku pergi, ku tutup jendela kayu itu sebelum aku pindah melanjutkan mimpiku yang sempat tertunda di kamarku sendiri, aku pastikan semua pintu sudah terkunci dan kemudian aku melanjutkan tidurku. Entah apa kali ini aku susah untuk tidur, aku sedikit menyesal sudah berpindah ke kamar, beberapa menit aku tak kunjung terlelap, langsung saja aku ke kamar kecil untuk berwudu dan melaksanakan shalat malam, setelah shalat aku mencoba membaringkan badanku tapi tetap ku tak bisa terlelap, terbias kabut rindu pada sosok insan memenuhi setiap tatap, bahkan pula saat mata hampir terpejam.  Mengganggu pikir dalam nyata, mengganggu pikir dalam imajinasi, ia terus menggelitiki ruang hayalku yang membuatku terpingkal angkat tangan menyerah, seolah ia tidak peduli.  Ia pula terhanyut dalam setiap buaian mimpi, mengganggu, yang seakan menjadi sutradara dalam kisah impian bunga tidur, seenaknya mengatur alur kisahnya.
Aku tidak bisa melanjutkan tidur kuhingga pagi menjemputku meski tetap aku berada dibalik selimut, entah apa yang sedang meracuni pikirku, hingga matahari menjemput ia tak mau kalah olehnya, menjadi sesuatu pertama yang terlihat oleh bola mata mulai terbiaskan cahaya.  Sungguh, kurasa ia tak bosan menyertaiku setiap detik, setiap lakuku, ia menjadi teman tersetia di malam ini.

Aku tahu aku merindukannya, meski baru kemarin aku bertemu walau hanya saling membisu, mungkin ini akhir dari kisahku atau ini hanya sementara, akupun tidak tahu.  

Lebaran masa kecilku sangat berbeda dengan lebaran sekarang suasananya, mungkin karena perkembangan jaman yang smakin maju, mushola dulu selalu penuh sampai keteras para jamaah untuk shalat tarawih di bulan ramadhan, meski petromak sebagai penerangnya tapi mushola selalu ramai oleh jamaah, teman - tman sebaya sibuk dengan petasan dan mobil obornya, Ketika shalat tarawih selesai teman – teman berkumpul menunggu makanan dibagikan pada kami, sampai berebut demi mendapatkan makanan yang banyak, minta tanda tangan sama imam karena tugas sekolah yang mewajibkan selalu ikut shalat tarawih dan tadarus. Sungguh membuat terpingkal perutku, sudah 4 hari setelah lebaran aku masih belum bertemu sama teman – temanku hanya beberapa teman yang datang ke pinggir sungai kemarin, sobri, soleh dan imam besok harus sudah meninggalkan kampung lagi, teman – teman yang lain sudah sibuk pergi ke tempat saudara – saudaranya, ibu dan bapak pun tak kunjung pulang dari semalam, aku harus tetap dirumah menunggu mereka pulang.

Pulang tarawih bareng – bareng ditemani sang rembulan yang mengintip dibalik awan, dan mobil obor kami, waktu itu listrik belum ada jadi sampai rumah kalo ada yang punya tv bisa nonton walau sekedar TVRI sebagai hiburannya, sahabat – sahabatku sobri, soleh, imam dan ukhti selalu mampir kerumah kalau selepas shalat tarawih untuk menonton tv, dan aku harus mengantar pulang ukhti soalnya sobri, soleh dan imam rumahnya berlawanan arah dengan ukhti, rumah ukhtipun tidak jauh dari rumahku, tinggal melewati satu bidang sawah. ketika sahur mengundang bergegas anak – anak desa keluar untuk membangunkan tetangga dengan meriam bambunya, sampai – sampai nenek marah karena kebisingan akibat suara meriam bambuku yang terlalu keras bunyinya “hahaha” dan aku selalu bersembunyi di samping kandang bebek milik paman, setelah makan sahur kami sering kembali ke mushola untuk shalat subuh berjamaah, meski musholanya di depan rumahku tapi aku selalu membawa mobil oborku untuk meramaikan mobil – mobil obor kami, berkumpul diserambi mushola, menunggu ayam berkokok sebelum pulang membanitu ibu membersihkan rumah.

Biasanya setelah pulang tarawih kalau bulan lagi purnama kami selalu bermain sodoran, huuuh permainan yang selalu membuat capek tapi semangat untuk dimainkan, yaaaah karena senyum dan tawa teman – teman. kalau sore hari sambil menunggu buka puasa kami biasanya bermain layang – layang dan bermain meriam bambu saling beradu mana suara yang paling keras.

itu sekitar 9-10 tahu yang lalu, tapi kini semua berbeda, semenjak kami lulus MI semua teman – temanku pergi untuk melanjutkan sekolah masing – masing, sekarang ini  3-4 shaf pun sudah paling banyak, tidak ada lagi bermain sodoran, meriam bambu, mobil obor, ingin kembali kemasa dulu jadinya, dulu kalau sore tiba kami mandi disungai, dulu yang sungainya masih jernih, dingin, besar, sekarang kecil, kumuh, berbeda sekali dengan dulu.

Sendirian dirumah jadi kepikiran masa kecilku, hari ini cuaca sangat cerah tidak mendung tidak hujan, sambil melihat foto – foto ku dan teman – temanku waktu masih sekolah MI, tak sengaja aku melihat foto aku dan ukhti di pinggir sungai berdandan pengantin - pengantinan waktu itu ada bapak tukang foto keliling dan pamanku meminta kami berdua berfoto dan yang bayar pamanku, aku senyum – senyum sendiri saat melihat foto ini.  

Tak terasa hari begitu cepat berganti sore, ibu sama bapak baru saja pulang dari rumah ukhti, katanya ada pengajian di rumahnya, tapi kenapa aku tidak diajak.

    “bu... ngopo aku ndak diajak ke rumah ukhti kalau disana ada pengajian?”

Sambil berjalan masuk ibu menjawab

    “la wong kamu gak tahu kemana kok dari kemarin, yo wes ibu sama bapak berangkat sendiri, pas ibu tanya sama ukhti katanya kamu di sungai belum pulang”.

Malam ini diantara heningnya dunia saat gelap melanda mengalahkan sejuta cahaya, jeritan kucing yang terus menakutkan lawannya, jarak pandang mulai memudar, ditemani segelas teh manis ku rangkai sejuta pesona dalam hati.
Jauh diluar sana entah dari mana asal nada malam dialunkan, sampai berdiri bulu roma yang membuat terlelap semua jiwa yang mendengarnya, gonggongan anjing saling bersautan menambah kengerian nyanyian katak pun tak mau kalah yang membisingkan telinga membantu meredakan rasa takutku malam ini, nada – nada itu berasal dari jendela kamarku yang selalu terbuka dan tertutup oleh angin, malam ini seribu bintang dan cerahnya rembulan menemaniku tidak seperti malam kemarin langit menurunkan hujannya pada titik – titik ditanah, ini tentang sebuah perasaan yang selalu berada dalam kehampaan, rasa ini berdiri diantara bunga malam wangi menusuk hidung, tapi tak tampak dari pandangan, aku menulis sebuah puisi ditemani lentera kecil yang tidak cukup membuatku melihat seisi kamarku,

dalam bayangan berjalan di ujung pasir, bersama tongkat ditangan, mencari sepucuk surat lama yang tertinggal entah dimana, walau terus menunggu entah sampai kapan tapi sangat berharga untuk diabaikan.  kadang terlalu mudah berucap suka lisan ini, kadang merasa jemu pada suasana ini terlalu sederhana untuk ku serahkan.

dunia ini kosong, hampa, melayang, bak tidak ada lagi gravitasi untuk setitik debu terjatuh, Merindukan permukaan jadi tumpuan lelah yang selalu melayang, detakan jantung bak gempa berkekuatan tinggi.  Kemarin, sekarang, dan lusa tak ada cerita yang dapat di tuliskan oleh tinta hitam, tentang rasa ini pada sosok insa, bingung memang yang terkadang diam menunggu berharap kemudian datang beberapa serpihan cahaya, membuatku terlena dibuatnya.  Sudah kusisihkan satu diantaranya karena tak sanggup untuk ia mengerti, mungkin ia terlalu takut akan menjadi api hampir ia padamkan lentera itu, redup terang serpihan cahaya itu, ingin kuambil tapi meredup saat kusentuh walau selembut sutra kini kubiarkan melayang mengikuti semua langkahnya pergi.

Semua biarlah mengikuti takdir yang ditentukan, sisakan pada semut di dinding, sungguh aku tidak mau menjadi pelangi, indah jika dipandang dari jauh, tapi tak nampak jika dari dekat hanya fatamorgana semata.  Semut butuh sesosok penyadar dalam buaian fatamorgananya butuh seseorang yang membangunkannya dari asa palsu yang membelenggu ia telah terjerat kuat.

BERSAMBUNG...

1 Desember 2013

Do'a kecil

bisikan titik air
saat kau terdiam terpaku kaku
tatapi langit tersenyum semu
titik-titik air membasuhi wajahmu
seakan membisikkan sesuatu padamu
di kiri dan kanan daun telingamu
tanamlah benih-benih penyemangatmu
tiadakan kata putus asa di dadamu
jauhkanlah keraguan dalam hatimu
janganlah sesekali menyerah oleh waktu
mulailah melangkah hingga ajal bertemu

30 November 2013

Woooww suara pemberontak

Berganti masa
Berganti zaman
Berganti kepemimpinan
Semua kurasa sama
Semakin krisis
Semakin kacau
Semakin amburadul ora jelas
Ingin kubalikkan pada masa itu
Dimana masa kedamaian

24 November 2013

Pungguk batu

Sungguh padamu wahai rembulan akulah punggukmu,
Sudah pada dasarnya aku takkan sampai
Seolah aku takkan terjaga sampai mati merapat
Ah, kenapa kau harus purnama?
Kenapa tak jadi angin lalu saja?
Ah, kenapa aku yang jadi pungguknya?
Kenapa tak jadi awan saja
?
Mengapa begitu banyak tanda tanya,
Namun apalah daya, hati ini tak jua mau mengerti.

Akulah si pungguk batu.

11 November 2013

keberangkatanmu

apa kau ingat malam itu?
kita menjamu penguasa malam yang datang diantara kita
yang ikut memenuhi ruang tunggu di dalam ingatan
kita jadikannya tawanan malam itu
agar ia tak cepat pulang dan berganti dengan penguasa siang.

hey...
apa kau ingat malam itu?
kita berbicara dengan malam yang telah kita sandra
dan, kau menceritakan tentang warna malam
apa kau tahu?
aku belajar melukis warna itu.

aku ingat malam itu
saat kau mulai bosan dengan giliranmu
kita mulai melukis berdua
tentang warna malam
dan kau beri sedikit senyummu
yang kau suguhkan pada sang malam.

sayang kau cepat pergi dari tempat dudukmu
jika kau tunggu sebentar
akan aku ceritakan kisahku di perjalanan pulang.

25 Oktober 2013

Untuk wanita pertamaku


.
Mak, kutuklah aku menjadi batu.
Seperti malin kundang.
Sebagai hukuman atas seringnya ku pendam masalah sendri.
Yang sehrusnya aku selesaikan dengan meminta bntuan
dan berbicara dari hati kehati denganmu..
.
Mak.. Pukullah keplaku dengan sendok syur,
seperti sangkuriang.
Agar aku hilang ingtan dan mnjadi org bru
yang penuh rasa tnggng jawab
terhadap keluwarga, dan masa depanku.

.
Mak... Jdohkanlah aku seperti siti nurbaya,
dengan orang asing.
Yang tidak ku kenal atar dasar pilihanmu.
Sebagai ujian untuk melihat
Ketaatanku dan kestiaanku.
Apa aku lebh setia padamu, apa orang lain.
.
Tapi mak... Aku tau kau akan tetap mmbebaskanku
seperti aisyah yang melepas Musa a.s ke sungai Nil.
Kau sangat percaya padaNYA .
Yang akan melindungi dan memberi petunjuk.
.
Kau membekali semua yang kuprlukan,
dalam mengrungi arus kehidupan ini.
Bagaimana bisa aku mengecewaknmu
Dan menjadi durhaka,
seperti malin kndang dan sangkuriang?
Mak, selalu doakan aku menjadi anak kebanggaanmu.

24 Oktober 2013

Sepotong senja untukmu

terhempas kenangan
tentang ayah dan ibu
kasih yang membayang dalam perjalanan
rindu yang terhatur disetiap tutur
cinta yang terikat tanpa paksaan
kini menungguku kembali penuh harapan,
 
 
ayah ibu
tunggulah disana
ku akan kembali saat senja menjelma
kan kuantar kesana
sebagai pelepas lelah selepas bekerja
 
 
ayah ibu
tunggulah aku disana
akan kubawa sebungkus rindu untukmu
pelepas lelah enkau bekerja
 
terhempas kenangan tentang ayah dan ibu
kasih yang membayang dalam kenangan
masa kecilku dulu
kini dewasa ku telah dapati
nyanyian doa selepas disetiap lima waktu untukmu
 
ayah ibu tunggulah aku disana
aku akan kembali untukmu
berucap bukan sekedar terimakasih
 
 
ingin kupeluk dirimu
ingin kecium pipimu
ingin ku tidur dipangkuanmu
seperti masa kecilku dulu
 
ayah ibu...
 
by. Sapariyanto

Bintang purnama untu ibu

disini di rimba
di belantara hijau kumerenung seorang diri
malam ini ku berfikir,,,
 
bagiku kau pelangi
hadir bersama rasa yang berbaur
dan berhambur
meski hanya secuil
kau ajariku banyak
tentang warna
tentang keindahan
sampai aku lupa akan gelap
dan kesedihan
 
sore ini angin lupa mengayun daun
burung-burung bernyanyi henti
semesta menari diam
kerinduanku mungkin memecah sunyi
jauh di laut sana
hingga tak ada yang berdebur di pantai
hanya sekejap buih
yang sejenak hadir
lalu hilang
 
kutuliskan namamu pada hamparan pasir
di sampingku
hatiku mulai berdendang
mengeja sajak mendung yang pekat hitam
ku menulis puisi-puisi yang kurang lebih sama
 
kerinduan
 
ialah semua yang tersisa
sari pati
tiap kepiluan
pada semua senja yang berkejaran
 
memang mencintaimu takkan ada habisnya
dan rasa ini akan hidup selamanya
biar ia rebah diatas rerumputan kering
bersama angin mati di hutan ini
menjemput debur
bersama air yang hambur
menatap senja
menanti malam menculik bintang dan rembulan
untukmu ibu
ku harap kau mengerti
lalu mencari
disini
 
 
bila malam mendung tiba
meski hujan sedikit menyumbang lagu
meski jangkrik berhenti berdendang dan kedinginan
tak pula kodok memainkan sandiwara orkestra
 
ada keluh menyusupi pori-pori beton yang menghujam tanah
bersama resah menggerogoti tulang
karena
kerinduanku padamu...
 
by. Sapariyanto

Ulat dan daun hijau

Musim hujan tlah berlalu sehingga di mana-mana tampak pepohonan menghijau .
Keliatan seekor ulat di antara dedaunan yg menghijau bergoyang-goyang di terpa angin .
 
”Apa kabar daun hijau” katanya …..
 
Tersentak daun hijau menoleh kearah suara yg datang .
”Ohh…kamu ulat , badanmu keliatan kurus dan kecil…mengapa ?” tanya daun hijau .
 
”Aku hampir tidak mendapatkan dedaunan untuk makananku , bolehkan engkau membantuku sahabat ? ” kata ulat kecil .
 
”Tentu….tentu,  dekatlah kemari ,’daun hijau berpikir ‘ Jika aku memberikan sedikit  saja daunku ini untuk makanan si ulat, aku akan tetap hijau . Hanya saja  aku akan keliatan berlobang-lobang. ..tapi tak apalah .”
 
Perlahan-lahan  ulat menggerakkan tubuhnya menuju ke daun hijau . Setelah makan dengan  kenyang ulat berterima kasih kepada daun hijau yg telah merelakan  sebagian tubuhnya menjadi makanan si ulat .
 
Ketika ulat  mengucapkan terima kasih kepada sahabat yg penuh kasih dan pengorbanan  itu , ada rasa puas di dalam diri daun hijau . Sekali pun tubuhnya kini  berlobang di sana sini namun ia bahagia dapat melakukan sesuatu bagi  ulat kecil yg lapar .
 
Tidak lama berselang ketika musim  panas datang daun hijau menjadi kering dan berubah warna . Akhirnya ia  jatuh ketanah di sapu orang dan dibakar
 
….
 
Sahabat, Apa yg berarti di kehidupan kita sehingga kita enggan berkorban sedikit saja bagi sesama ?
 
Nahh……akhirnya semua yg ada akan mati bagi sesamanya yg tidak menutup mata ketika sesamanya dalam kesukaran .
 
Yang  tidak membelakangi dan seolah tidak mendengar ketika sesamanya  berteriak meminta tolong . Ia rela melakukan sesuatu untuk kepentingan  orang lain dan sejenak melupakan kepentingan diri sendiri .
 
Merelakan kesenangan dan kepentingan diri sendiri bagi orang lain memang tidak mudah, tetapi indah .
 
Ketika  berkorban diri kita sendiri mnjadi seperti daun hijau yg berlobang  namun sebenarnya itu tidak mempengaruhi kehidupan kita , kita akan tetap  hijau ..Tuhan akan tetap memberkati dan memelihara kita .
 
Bagi  daun hijau berkorban merupakan sesuatu perkara yg mengesankan dan  terasa indah serta memuaskan . Dia bahagia melihat sesamanya dapat  tersenyum karena pengorbanan yg ia lakukan . Ia juga melakukannya karena  menyadari bahwa ia tidak akan selamanya tinggal menjadi daun hijau ,  suatu hari ia akan kering dan jatuh .
 
Demikianlah  kehidupan kita , hidup ini hanya sementara… kemudian kita akan mati .  Itu sebabnya isilah hidup ini dengan perbuatan-perbuatan baik, kasih,  pengorbanan , pengertian , kesetiaan , kesabaran , dan kerendahan hati .
 
Jadikanlah  berkorban itu sebagai sesuatu yg menyenangkan dan membawa sukacita  tersendiri bagi kita . Kita dapat berkorban dalam banyak perkara ,  mendahulukan kepentingan sesama , melakukan sesuatu bagi mereka ,  memberikan apa yg kita punyai dan masih banyak lagi pengorbanan yg dapat  kita lakukan .
 
Yang mana yang sering kita lakukan ?
Menjadi ulat kecil yg menerima kebaikan orang atau menjadi daun hijau yg senang memberi ……?

 Author : -Hareem Musashi-

Pengakuan sang anak hujan part 6

"  Assalamualaikum warahmatullah...

malam yang hening...
dengan diiringi tarian lampu di sampingku yang terus menerus tertiup angin...
kadang redup kadang terang, tergantung seberapa kuat angin meniupnya...
angin menghembuskan rindu
yang dititipkan dari jauh
saat daun serta kelopak bunga
berjatuhan susul menyusul

aku mereka senyum, mencoba memeluk rasa yang kau simpan jauh,tak kudapati.
Hanya sepenggal desah di ujung air mata masih sama seperti saat ku hendak pergi
Sepuluh tahun yang lalu.

Hanya ini yang aku ingin sampaikan padamu,
Rindu yang kian merasuki dan kian menggunung,
Tapi ku harus mulai meluluhkannya,
Kita bukan seperti dulu,
Kita sudah berbeda,
Berbeda jauh, hanya waktu yang bisa menjawab.


afwan akhi...by. Sahabatmu ukhti.
wasalam...

Singkat tapi memilukan, masih ku tertunduk diam bersandarkan pohon ini, warna langit yang kian memudar, dan malam mulai menyambut.  Ditemani bebek pamanku yang tertinggal dari kawanannya, sepuluh tahun tidak bertemu dan tadi benar benar nyata aku melihatnya tersenyum padaku, tapi akupun tidak tau kenapa dia mereka senyum?

Dan lagi lagi aku harus seperti ini, menjauh dari semua yang aku anggap bisa menyempurnakan. Aku selalu merasa dia tidak akan berubah, tapi ini berbeda dan ini salah, dia tidak seperti surat – surat yang ia kirim, apakah ini sebuah pertanda kalau aku harus berhenti ataukah ini hanya sesaat. Hari ini meski tergores luka Meski berurai air mata Dan akhirnya tersimpul senyum manis kecil.  Detik tadi saat ku baca surat itu meski beragam kepiluannya berselang sedikit tawa.

Aku yakin surat itu benar benar untuk menyadarkanku yang selalu merindukannya. Dan saat terkadang rindu terucap dalam pikiranku, membuatku hilang akal hingga syaraf, tubuh tak kuasa berlaku, matapun tak mampu terpejam dan meski sekejap seperdetikpun saat kata rindu mulai larut dalam darah.  Mengosongkan segala rongga dada terkadang membuatnya penat hingga sesak, entah rasa apa ini bibirku terkatup menanti hingga jawabku temu, sampai kini.

“Bukan cukup menanti

jangan pula hanya mengutus angin menemui sang hujan
Berikan ketulusan pengharapan itu
Agar sang hujan sadar
Begitu berartinya ia dalam penantian asa sang semut
Agar sang hujan tau
Sakitnya menunggu jawaban yang tiada pasti itu
Hingga akhirnya ia sadar
Dan ia rela menjatuhkan diri
Terkutuk
Tiada lagi menjadi hujan
Dan
Hujan bukan enggan membalas surat rindumu
Terlalu berat untuknya
Memilih kasih atau patuh
Bukan pula ia tak cinta
Pahami segala takdirnya
Sebagai sang hujan
Karena setiap detiknya
Bukan kehendak dan maunya
Cukup paahami itu
Hujan bukan sosok yang cinta pujian
Sungguh
Setiap tetesnya mengalir pula keikhlasan hati
Pula masih begitu banyak yang ia ajarkan
Dan aku dapat berharap seperti ia”


Aku hanya berpuisi sendiri disudut sepi dimalam ini yang masih bersama bebek yang meringkuk kedinginan di kakiku, kugendong bebek itu sebagai temanku pulang, hanya kilatan kilatan petir yang menerangi ku berjalan pulang, bersama gerimis yang semakin mengguyur tubuhku, kini sama – sama dingin kurasa, dan malam sudah lelah meretas geming ini rembulanpun datang menggantikan petir – petir mengagetkan tapi hujan tak kunjung menghilang di sepanjang perjalananku pulang, semut yang biasanya sembunyi di balik dedaunan kini bebas bergerak berlarian mencari tempat yang lebih teduh.
di pucuk hening ku titip salam kata rindu yang semakin menggebu, meski siang tadi usai bertemu, bisakah kembali untukku hujan datanglah kembali, seperti dulu sepuluh tahun yang lalu.
Sesampainya di rumah aku masukkan bebek itu dalam kandangnya, dan saat aku mengetuk pintu dan membukanya, dengan pakaian basahku aku meringkuk memeluk tanganku sendiri, aku melihat disekeliling ruang tamu tidak ada siapa – siapa, di dapurpun tidak ada, lalu aku putuskan untuk mandi sejenak.

Bersambung...


by. Sapariyanto







19 Oktober 2013

Penulis amatir

Aku hanya penulis amatir yang tak tau indahnya sebuah kalimat. Aku hanya menyusun huruf yang kurangkai kata demi kata menjadi sebuah kalimat yang buruk.

Aku bukan pujangga, bukan penyair bahkan bukan penyihir yang membuat orang tercengang karyaku.

Aku hanya penulis amatir yang tak banyak pikir
Aku tulis kata yang acak acakan.
Hanya ucapan.
Selamat malam purnama, selamat malam bintang
Kau tetap indah malam ini
Seperti malam malam.terdahulu sebelum aku mengetahuinya.

18 Oktober 2013

Jalan cinta sepanjang kenangan

Teringat di waktu itu
saat pertama kalinya kau belai hatiku dengan senyummu
Untuk pertama kalinya aku terbangun dari tidur panjangku
Kau hadir dalam kehidupanku yang tengah kering keronta bungapun tidak tumbuh
Kau bawakan air cinta
Kau tuangkan menyirami seliruh isi hatiku
Hingga jiwaku basah kuyub karena cintamu

Aku bangun cinta itu dengan penuh harap
Saat hujan menyambut kita yang tengah membara asmara
Hujan riang menari nari di pinggir jalan tempap kita berteduh
Angin menghembus menembus kulit hingga kebelulang
Kudekap kau dengan penuh hangat
Hingga hujqn kembali diam

Setelah waktuvyang sebentar kita menjamu memanjakan cinta dan asmara
Kau cabut seluruh aku dari diriku sendiri
Meninggalkan kenangan manis sepanjang perjalanan pulang
Cintamu membawaku pada kekecewaan
Kau tak benar benar mencintaiku
Kau permainkan perasaan ini yang tengah mengembara rindu
Aku tersesat di tengah tengah lautan tak bertepi
Kau hancurkan dermaga yang kau buat sendiri
Untuk menyambutku

Biarkan Tuhan menjawab segala sakitku
Hingga aku tua dan rapuh
Sebelum aku mati nanti
Satu keinginanku
Ucapkan rindu untukku.

Pertanyaan cinta

Malam ini aku menertawakan anganku sendiri
Angin cinta yang dahulu berhembus hangat
Kini berhenti menghilang entah mengapa
Kau memilih menutup diri dariku
Berusaha lari sejauh mungkin dariku
Apa sebenarnya yang kau takutkan dariku
Salahkah jika aku menyanyikan puisi rindu
Hingga kau tutup rapat seluruh dirimu dariku

Salah apa aku
Dosa apa aku
Ingatkah saat pertama kita jumpa?
ingatkah saat pertama bertanya sapa?
lupakah kita menghitung waktu sepanjang jalan?
lupakah dimana aku bisa menatapmu lebih lama?
Akankah kau hapus janji kita berdua begitu saja?

Seberapa pantasnya diriku buat kau benci
Apa kita beda kasta hingga kau menganggap tak sederajat denganku?
begitu nistanya aku dimatamu?
benar kau yang agung
Benar kau yang cantik
Benar kau yang dikenal banyak orang

Inikah aku yang kau benci
Seberapa hinanya aku hingga kau paksa usir aku keluar dari kenyamanan hatimu?
ada apa denganku? tepatnya dengan kita.
Akankah kau merasa lebih mewah dari kehidupanku
Aku yang terlempar keluar
Saat kau menarikku jauh kedalam lubuk hatimu
Saat kau masuk ke relung relung jiwaku
Saat aku merasa kau adalah segalanya
Kau pergi begitu saja
Dan memenjarakan perasaan ini dalam kebingungan

Kau sungguh kejam wahai wanita
Kan kukutuk perasaanku sendiri
Mati bersama raga yang rapuh dan kau benci hingga terhinakan ini.

17 Oktober 2013

Sore ini menyapamu

Apa kabar sore?
masihkah waktu membeku, padahal hujan kembali riang menari manja disini di sore yang sepi.
Tak adakah kabar kau kirim lewat angin yang menderu?
Apakah tidakbada rasa yang lain,
selain merindukan seseorang?

Apa kabar sore?
hujan kembali melukis angan pada debu yang berterbangan kala tadi,
seperti ucapmu dulu.
Biarlah rindu dan air mata ini membasuh jiwa.
Karena itu yang akan terus mengobarkan asmara kita yan tengah membara dan mengembara.

Apa kabar sore?
saat ini jauh jarak kita.
Aku pernah berucap padamu
Akankah rinduku terpasung oleh waktu?
waktu yangvkian membeku?
tak ada jawaban yang kau balas.
Ku baca pada matamu keinginan untuk bicara.
Tapi hanya air mata yang menghujani pipi dan bibirmu terus tertutup bisu.

Jika waktu benar benar membeku.
Sore ini mengabarkan hujan dalam hati.
Tentang keinginjumpaan pada jiwa yang halus.
Sore menyapamu hujan.

Rindu

Kepada langit
Kepada malam
Kepada pagi
Kita dan hujan yang datang, hujan yang membawaku padamu
Pagi ini warna yang berbeda
Pencuri waktu yang diam diam pagi ini
Untuk pagi dan rindu yang terpasung waktu
Untuk sepasang mata angan cinta

9 Oktober 2013

Pertanyaan yang gak penting menurut gue

Pertanyaan ''mengapa gw suka sama dia?'' itu terlalu berbahaya untuk dijawab, mungkin mereka sedang beruntung yang selalu mendapatkan yang mereka inginkan, baik itu cinta, perhatian dan kebahagiaan. mungkin mereka yg lain sedang apes atau belum beruntung yang selalu menunggu giliran untuk mendapatkan yg mereka inginkan terlebih yg ia butuhkan atau mereka yg mendapatkan cinta tapi tidak bahagia. Dan gw hanya seorang yg belum mendapatkan cinta dari seorang cewek pastinya yg gw sayangi, gw yg hanya selalu menunggu kepastian iya atau tidaknya. Gw yg selalu dengan tidak ada yg perhatiin ke gw ngingetin gw kalo lgi lupa, marahin gw kalo lg salah, dan lain2 yg berbau perhatian. Gw yg dari dulu bisanya cuman memperhatikan dan merasakan tanpa ada alasan kenapa gw kyk gni.

Pertanyaan ''mengapa'' buat gw itu gak penting titik. Sekarang gw cuma bisa menunggu dan terus menunggu yg pasti gw bukan lagi beruntung atau tidak beruntungnya. Tapi gw ada diantara keduanya. Gw sangat menikmati dengan keadaan ini, emang sii kadang gw ngerasa bosen dengan keadaan seperti ini. Tp gw bersyukur gw msh diberi kesempatan hidup selain buat beribadah gw bisa nunggu lebih lama lagi.

8 Oktober 2013

Belajar sepeda

Di suatu dulu. Pernah saya belajar bersepeda sendirian di pelataran depan rumahku. Hari itu begitu cerah terik matahari menembus kulit. Meski saya tidak pernah memiliki sepeda sendiri tapi saya bisa belajar dengan sepeda peninggalan kakak ketiga saya. Hari itu untuk lertama kalinya saya belajar bersepeda. Berulang kali saya terjatuh erluka di bagian lutut dan siku saya. Tapi semangat saya untuk belajar tidak mengingat rasa sakit yang didapat.

Setiap kali saya selesai belajar bersepeda, dengan penuh luka akibat terjatuh. Ibu tidak pernah marah melihat saya penuh luka, saya selalu dipuji karena setiap hari saya semakin pandai bersepeda. Saya pun semakin bersemangat karena luka-lukanya selalu di obati sama ibu. Hingga akhirnya saya bisa bersepeda sendiri.

Sekarang. Ketika kedewasaan yang saya rasakan. Semua perjuangan hidup seringkali saya terpuruk, terjatuh dan gagal. Orang tua hanya bisa berdoa dan memberi nasehat. Saya mengambil pelajaran ketika sedang belajar bersepeda dulu. Tidak selalu kegagalan yang kita dapati selalu ada orang terkasih membangunkan kita. Mereka tidak pernah bisa mengajarkan kita dalam hal apapun itu kecuali diri kita sendiri yang mempunyai keinginan untuk bisa.

By. Sapariyanto

7 Oktober 2013

Karambol

Sebelum rutinitas kuliah menghampiri

Rindu dan mimpi

Kini hujan tak kembali lagi
Meski hanya mendung tak mau pun
Sungguh ku merindukanmu
Saat malam mulai datang
Saat wajahmu kembali datang dalam ingatan
Foto yang tertempel pada dinding
Semakin meluap rasa rinduku
Kini, kau benar-benar memasung waktu
Melarang semua rindu yang ku.kirim
Membenci semua cinta yang ku hadirkan
Saat mentari tak lagi menemani hari
Saat itulah hati, perasaan dan logikaku acak berantakan
Rindu yang tak terikat
Ada rindu yang terlarang
Sampai kapanpun rinduku menjadi warna hari-hariku
Selalu mengenangmu dalam ingatan
Kemanapun kaki melangkah
Dimanapun aku berpijak
Akan kusandingkan rinduku padamu
Dengan mimpi dan citaku...

Masih merindukanmu

By. Sapariyanto

6 Oktober 2013

Puisi yang patah

Hari ini, siang panas kurasa
Ada ribuan panah panas menembus kulit
Hingga ke jantung
Hati teriris terbakar
Kapan hujan turun?
aku tak sabar menunggu lebih lama
Aku yang mencintaimu
Akan selalu berdoa untukmu
Untuk semua kebaikan bagimu
Aamiin...

Ranting

Pada suatu hari dipagi yang cerah. Aku berjalan jalan di sekitar muara yang berisik. Hangatnya mentari perlahan memanjat langit diiringi nyanyian burung.
Di satu tempat dari kejauhan aku memperhatikan sepotong ranting yang sendari tadi tertawa bahagia dan berenang kesana kemari di tepian lautan. Penasaran akhirnya aku mendekat dan bertanya. "hay ranting, apa kiranya yang membuatmu begitu bahagia?" kataku. Ranting itu pun menjawab dengan penuh kepuasan. "inilah yang selama ini aku inginkan. Bisa berenang di luasnya samudra tak berbatas. hahahaaha..." kata si ranting.
Karena aku masih penasaran dan kurang puas atas jawabannya, aku pun kembali bertanya lagi. "kenapa kau begitu bahagia?" tanyaku. "dahulu, aku adalah ranting di satu pohon besar di atas perbukitan sana, setiap waktu aku memandangi lautan luas. Ingin rasanya aku bisa berenang kesana. Apalagi saat burung hinggap di punggungku dan bercerita tentang indahnya lautan, aku begitu menggebu2 ingin segera kesana. kata ranting "lalu, bagaimqna kamu bisa sampai disini?" tanyaku heran. "saat itu, malam yang hening. Rembulan enggan menampakkan diri. tiba tiba angin dan hujan datang begitu derasnya. Yang aku fikirkan saat itu adalah, jika aku patah dari dahan ku aku harus jatuh di sungai itu agar aku bisa sampau di lautan itu. Tiba tiba petir menyambar dahanku dan aku patah jatuh di bebatuan besar di tengah sungai besar yang mengalir deras. Aku tau aku tidak bisa berbuat apa apa. Aku hanya berdoa dan bersabar. Berhari hari aku terjebak di bebatuan itu. pada suatu pagi, angin mendorongku sedikit demi sedikit hingga akhirnya aku terjatuh ke sungai. Dalam hatiku berkata. Inilah saatnya aku harus berjuang demi lautan itu.
Kata si ranting.
"kemudian apa yang terjadi?"  tanyaku lagi.
"perjuangan dan kesabaran serta keikhlasanku berbuah hasil yang sangat manis seperti yg kurasakan sekarang. Berhari hari, berminggu minggu, berbulan bulan aku mengarungi sungai. Rintangan dan halangan sudah pasti jadi teman perjalanan dan penantianku. Hingga suatu ketika di tepian air terjun yang tinggi perlahan aku melompat dari atas sana. Aku terbang, apakah ini rasanya cinta? sungguh indah sekali tempat ini. Hampir aku melupakan lautan sebagai tujuan akhir perjalanan hidupku. Akhirnya aku sampai di bawah air terjun yang ngeri nan indah. Aku tenggelam beberapa meter hingga aku tak sadarkan diri. Aku hanya merasa tempat apa ini? apakah ini tempat yang aku tuju?. Beberapa menit kemudian aku siuman dan melihat disekelilingku banyak bunga bunga dan kupu kupu. Kicauan burung dan rusa kecil saling mengejar bercanda ria. Aku berfikir inikah syurga? oooohh indahnya. Aku mulai tersadar lagi ketika seekor rusa kecil menunjukkanku jalan menuju lautan. Aku ingat dan cepat cepat kembali aku berenang menuju tempat yng selama ini aku impikan. Hingga akhirnya aku saimpai disini tempat yang begitu luas dan tak berujung. Inilah tempat yang aku impikan.
Cerita panjang si ranting takvterasa hari semakin siang. Setelah ranting itu meninggalkanku banyak pelajarang yang aku dapatkan dari cerita perjuangannya mendapatkan cinta sejatinya. Perjuangan, kesabaran, keikhlasan, doa yang tulus itu kunci utama mendapatkan cinta sejati. Biarkan cinta itu mengalir seperti air meski akan banyak rintangan dan halangan tapi pada akhirnya akan ada muara yang akan membalas semua yang kita lakukan demi sebuah cinta.
Aku jadi teringan pada kata kata seorang wanita "biarkan kita mengembara hati yang sedang membara biarkan kisah ini mengalir seperti air. Aku akan berlabuh pada dermaga hatimu. Menyantap sore penuh cinta.

2 Oktober 2013

pengakuan sang anak hujan part 5

“benarkah kamu ukti sahabatku...?”

kataku,  semua mata menuju kepadanya, wanita itu memberikan senyuman dan berkata

“iya...”           

Aku tak dapat berkata-kata setelah mendengar jawabannya, semua teman-temanku masih saja terdiam bingung sama sepertiku masih tetap terdiam.  Sekian lama kami tidak saling bertemu, hanya lembaran – lembaran surat yang mempertemukan kami.

"benarkah kamu ukhti sahabatku...? kamu yang mengirim surat ini untukku kan...?"

Sekali lagi aku bertanya, sejenak suasana menjadi sepi, hari semakin gelap masih ditemani dengan rintik hujan dan angin yang bertiup mengoyangkan rerumputan sekitar. 

 "iya... itu aku yang mengirimnya, terimakasih sudah membacanya..."  

Jawabnya. Teman - temanku tetap terdiam, dan satu persatu mulai memecah kesunyian dengan menanyakan kabar padanya, tapi tidak denganku, aku masih mencoba menerjemahkan perasaanku saat ini, apakah ini rasa senang bertemu dengan sahabatku kembali ataukah ini rasa yang penuh dengan ambang kebingungan, apa yang harus aku lakukan? akupun tidak tau.

hujan masih tetap menemani kerinduan – kerinduan diantara kami, berisiknya sungai menambah suasana seperti kembali seperti dulu saat - saat setiap kali pulang sekolah dan berdiam sejenak ditempat ini.  Sekian lama aku bersama teman - teman ku menikmati suasana melepas rindu akan kenagan - kenangan masa lalu ketika masih sekolah, saling menanyakan kabar, saling menyombongkan kehebatannya, menyombongkan prestasi – prestasi yang sudah tercapai, tetap aku dan dia tidak berani berkata – kata dan tertunduk malu saat mata bertemu pandang.

TERAPUNG DAN PERGILAH...

Suasana ini mengingatkanku dulu, hampir setiap kali pulang sekolah bersama teman – temanku berdiam ditempat ini, saat memancing dan menunggu umpan kami ditarik oleh ikan, hari itu tidak seperti biasanya yang selalu ditemani hujan, sore itu hujan telah berhenti dan digantikan oleh warna abu abu pada langit, kemudian aku mengambil sebuah buku dari dalam tasku dan aku mulai menulis satu kata demi kata yang kurangkai hingga menjadi sebuah kalimat yang indah yang kunamai puisi.

“ SANDIWARA SORE y_y

Percik

Hujan menyudahi sore yang bersandiwara
Keinginjumpaan didendangkan kekakuan
Pada tiap helai daun yang menari dingin
Melukis harap, cemas, takut

Rindu

Mencoba mengeja pelangi
Yang sempat dilukis
Sebelum surya menutup hari
Dengan senyum yang beku.”


Aku menghela nafas panjang dan aku memandang langit sejenak yang masih diselimuti mendung sisa – sisa hujan tadi, tiba – tiba dari arah belakang sobri sahabatku yang lain merampas bukuku dan sambil berlari – lari ia membacakan puisi yang belum selesai kubuat. Soleh, andri, dan imam menertawakanku, langsung saja aku mengejar sobri untuk mengambil buku itu tapi sobri masih tetap berlari dan melemparkan buku itu ke arah soleh, kukejar buku itu tapi soleh kemudian mengambilnya dan kembali melemparkan buku itu ke arah sobri,   

            “akhi... akhi... akhii... umpanmu ditarik ikan besar, bantuin aku menariknya siniii..!!!”


sambil berteriak imam yang tadi menertawakanku kini ia menertawakan pancingku yang susah ditariknya, ketika sobri sedang menoleh kearah imam dan langsung saja aku mengambil buku yang ada ditangannya, memang arus sungai sore ini lebih deras dari hari – hari sebelumnya, dan soleh membantu imam menarik pancingku,

            “ikannya besaaaaaaarrr!!!”


teriak imam, tapi karena arusnya yang cukup deras dan mungkin ikannya juga besar tali pancingku putus dan wajah kami yang tadinya riang berubah menjadi topeng kekecewaan karena tali pancingnya putus sehingga kami tidak jadi mendapat ikan besar sore ini. Kami masih memasang muka kecewa tapi sobri tidak dan dia kembali mengejekku

“akhi itu puisi buat ukhti yaa...? hahahahaa... sudahlah sooob, ukhi itu sudah ndak di sini lagi, mungkin dia sekarang sudah mendapatkan teman baru di sana, jadi gak usah sedih terus menerus.”


Celoteh sobri yang mencoba menjelaskan sesuatu padaku padahal memang dia orangnya sok tau tapi sok menjelaskan yang sudah aku ketahui masal itu,

“benar apa kata sobri akh biarkan dia menggapai cita – citanya dengan caranya sendiri, sahabat kan tidak selalu bersama – sama”


kata soleh menambahkannya, dalam hati berkata kenapa mereka  mengatakan seperti itu, padahal puisi ini bukan untuk dia, dan puisi ini juga belum selesai kubuat. Perasaanku jadi tidak enak gara – gara puisi yang kubuat barusan jadi gak ceria lagi suasana memancing ini.  Aku mengambil ranting kayu dan kubungkus dengan kertas puisiku tadi

            “wahai air bawalah kertas ini kemana kau mau, jangan bawa kertas ini kembali padaku, mengaung dan pergilah dari sini...!!”.


Teriakku sambil melemparkan kertas itu, dan sejak saat itu aku memutuskan tidak lagi mengenang masa – masa bersama sahabatku yang sudah memilih untuk belajar jauh di sebrang pulau ini.

* * *

Tiba – tiba dia menghampiriku dan dia mengulurkan sebuah surat kepadaku, dan dia berpamitan padaku kalau dia besok pagi sudah harus kembali ke jogja. Hanya itu yang dia sampaikan padaku. Semakin sore dan hari semakin berlalu semua teman – temanku mulai berpamitan untuk pulang, hingga akhirnya tinggal aku, soleh, imam, dan sobri,

            “akh... dia ngasih surat lagi buat kamu..?”


Kata sobri, aku terdiam sejenak dan aku menganggukan kepala mengiyakannya. sungguh singkat hari ini belum sempat ku menikmati keindahan dan arti hari ini, tapi ia (sore) sudah enggan berlama - lama bermain denganku, dengan kita, dengan kami. di ufuk timur nan jauh disana langit melukis pelangi dibawah awan abu abunya, burung - burung berterbangak menuju sarangnya hendak melepaskan rasa lelah seharian ini, kini tinggalah aku sendiri ditempat ini di tempat penuh dengan kenangan manis, kenangan masa - masa itu.  sobri, soleh dan imam berpamitan pulang dan aku masih enggan untuk melangkah meninggalkan tempat ini, aku ingin berlama - lama di tempat ini, udara ini, angin ini, pelangi itu, rinai hujan memperindah suasana. perlahan aku mengambil buku dan aku mulai mengeja kata, belum jadi aku hendak menulis aku teringat surat yang ia beri tadi, suara itu, senyuman itu dan tatapan mata itu, masih sama seperti 10 tahun yang lalu.

perlahan aku membuka isi amplopnya, dan kubuka kertas itu, ku mulai membaca surat itu dengan helaan panjang.

"  Assalamualaikum warahmatullah...

malam yang hening...
dengan diiringi tarian lampu di sampingku yang terus menerus tertiup angin...
kadang redup kadang terang, tergantung seberapa kuat angin meniupnya...BERSAMBUNG...

By. Banyu mili

22 September 2013

ibu pinggiran kampus

Kehidupan dikota sangat berbanding terbalik dg kehidupan didesa,.,. tdak saling mempedulikan sesamanya,.,. berjalan dipinggir jalam malam itu sekedar membeli nasi goreng di pertigaan lampu merah yang terus berganti warna demi menertipkan kendaraan yang lewa hulu mudik,.,. sambil menunggu tukang nasi gorenga menggoreng nasinya untuk para pelanggan, didepan tugu aku melihat ada anak kecil yang lucu kira2 umurnya masih dbwah lima tahun,.,. sedang bermain riang walau hanya ditemani heningnya malam,., sang nenek menggoyangkan semacam kicrikan pelan2 berharap ada uang yang diulurkan dari sang tuan ditepi jalan sambil menunggu warna lampu merah berganti hujau,.,.

sdah sekian lama sang nenek menunggu, ada seorang remaja yang memerikuan uang kpda sang nenek,.. sang nenek sangat berterimakasih kpana anak remaja itu, dia bgaikan malaikat yang sengaja datang untuk memberikan rizki kpadanya,., beberapa orang pun ikut mengulurkan rasa kasihnya,,. Setelah merasa cukup untuk mengganjal perut, sang nenek berjalan mendekati anak kecil yang mulai menangis krn lapar,.,. ibu anak tertidur disamping anak itu yang mungkin krna lelah dengan khidupan,.,. sang nenek menyuruh ibu itu membeli makanan secukupnya, sang ibu beerjalan pelan,,. Anak itu semakin menjadi menangis diiringi gerimis yang turun dan kilatan yang mengerikan,.,.

nenek hanya bisa berdo’a agar hujan sedikit kasihan padanya mendekap erat anak kecil itu sambil menunggu sang ibu pulang membawa secuil makanan,,. Sampai sang anak terlelap dibuatnya,.,.
ibu itu pun kembali dengan roti dan sebungkus nasi ditangan kanannya dan susu untuk anaknya ditangan kirinya,.,. sedikit uang disisakan untuk disimpan guna untuk sewaktu2 membuthkannya,.,.

banyak orang yang lewat dimalam itu tapi tdak sedikit orang yang tidak mempedulikannya,., sakit sekali melihatnya,.,.
Terlihat diseberang sana orang2 makan dengan lahapnya tanpa mempedulikan yang didekat tugu,.,. sang nenek hanya memakan sedikit roti malam itu,.,. wajah sedihnya mulai mewarnai kerutannya,.,.  tak tersadarkan kakiku melangkah mendekatinya,., dan mengulurkan sedkit yang mingkin berguna untuknya,.,. dia menangis dihadapanku,., seolah bercerita tentang kisahnya,.,.


Tukang nasi goreng memanggilku dari seberang sana,., “Mas nasi gorengnya sudah selesai,.,.” “Iya tunggu sebentar mas,.,.” jawabku sambil melangkah menjauhi sang nenek,,., setelah membayar uang nasi goreng aku langsung melangkah pulang ke kostan,.,. dri kjauhan aku melihat bpak2 dengan tongkat ditangannya dan kacamata hitam yang menghiasi matanya,., berjalan kesusahan karena tidak tau dia berjalan dmana,,., hati hendak mendekat tp aku sdah jauh diseberang jalan,.,. sepeda motor dan mobil berhenti sejenak ketika bpak bertongkat itu berjalan menyusuri jalan hendak pulang kerumahnya,.,.
pandangnku pun kualihkan kembali kejalan menuju kostan,.,.

sampai dikostan langsung ku melahap nasi goreng selagihangat sambil menonton tv,., teringat nenek tadi yang sangat sulit untuk mendapatkan makan,.,.
langsung kutawarkan makananku kpada temanku untuk menghabiskannya,.,.

huuuuuuhhhh,.,. susah di bumi pertiwi,.,. sang panglima berdasi duduk enak di rumah, membesarkan perutnya dengan uang rakyat,.,. sungguh kejam.,.,
ibarat lintah memakan darah sang tuan,.,.

tapi inilah kenyaataannya,.,. sdkit rasa sakit yang tergambar,,. Msh bnyak lagi yang lebih membutuhkan hidup,.,. ^^


pedulilah untuk mereka,.,.

jangan lupa zakat yaaaa,.,. ^_^,,.,,.

by. Banyu mili

pengakuan sang anak hujan- part 4

“assalamualaikuum... 

Akhi... maaf aku sengaja memberikan foto untukmu, karena aku ingin kamu selalu mengingatku nanti, dan sampai kapanpun, walau aku sudah berubah nanti... ketika aku sudah tidak ada disini lagi.
Akhi... jujur selama aku mengenalmu, banyak sekali yang aku dapat dari kamu, terutama kesetiaanmu menjadi teman dekat ku...
Akhii... maaf mungkin selama ini aku banyak sekali menyusahkanmu, maaf juga karena aku nggak bisa membalas semua kebaikanmu. Tapi aku selalu berdoa disetiap malamku, semoga kamu menjadi seorang yang dapat dibanggakan oleh semua orang.
Wassalam...”

Ini adalah surat terakhir yang ia kirimkan untukku, sebelum ia berangkat meninggalkan kampung halaman. Malam ini di sudut kamarku yang hanya ditemani lampu minyak yang terombang-ambing tertiup angin ikut menyaksikan suasana hati malamku, aku kembali berjalan menuju pelataran rumahku, duduk dibangku dan memandangi langit yang sedikit demi sedikit mulai bermunculan bintang-bintang, tapi tidak untuk sang rembulan, entah memang ia tak mau menunjukan diri ataukah memang tertutup awan. Runtik-rintik hujan perlahan mulai menghilang yang digantikan suara jangkrik yang bernyanyi membisingkan alam yang sepi, ditemani katak-katak berteriak memeccah langit.

Disudut sepi aku terdiam seribu bahasa sampai pada pemandangan di langit, entah sebuah meteor yang jatuh ataukah bintang jatuh, seketika itu pula aku memejamkan mata dan berdoa pada Illahi, aku berdoa semoga aku dipertemukan kembali dengannya dengan suasana yang berbeda. Setelah keberangkatannya dia tidak pernahlagi mengirim surat untukku, tapi aku selalu mengirim surat untuknya, sekedar memberi tahukan keadaanku. Sejak aku lulus MA, ketika untuk pertama kalinya aku menerima surat darinya, aku merasa bahagia sekali karena sahabat kecilku mengirimkan surat untukku, dan dalam surat itu ia akan segera kembali, tapi disisi lain aku merasa sedih apakah dia masih mengenalku atau tidak lagi.

Hari demi hari aku merenunginya, hari demi hari aku menunggu hari itu. Sepucuk surat yang ia kirimkan untukku masih sering kubaca setiap kali aku teringat masa-masa kecil dulu, hari raya id fitri pun tiba, pagi itu sepulang shalat id fitri aku bersama sahabat lamaku namanya soleh, sejak kecil dia adalah orang yang sangat dekat denganku selain ukhtisoleh sejak lulus MI langsung melanjutkan ke pondok pesantren dan lebaran ini baru berlebaran di kampung. Seorang wanita berjilbab besar berwarna kuning, memakai kaca mata dan membawa tas putih ditangannya keluar dari masjid depan rumahku. Aku dan soleh baru pertama kali melihat wanita ini, ”mungkin dia bukan dari sini akhi...” celetuk soleh sambil melihat wanita itu, “sudaaah jangan dilihat terus, eh tunggu sebentar, tapi dia kok mirip seseorang ya akh, kayaknya ana kenal sama dia” kata soleh, “siapa...?” kataku, “miriiip sama ukhti... iya nggak???” kata soleh, “ukhti..?” kataku, aku berfikir sejenak benarkah dia ukhti atau bukan. “iya... akhi... masak antum nggak ingat, ana saja ingat, padahal ana nggak dekat sama dia dulu, antum yang dulu dekat masak gak ingat...” dia berjalan bersama seorang lelaki berpeci haji berjalan menuju ke pemakaman umum, aku semakin penasaran dengannya, tapi aku tidak begitu menghiraukan siapa dia sebenarnya, aku langsung mengajak soleh mampi kerumah, “soleh singgah dulu kerumah, nanti kita sama-sama pergi ke tempan paklek ku” ­masih sambil melihat wanta itu berjalan, “tidaklah akh, ana mau langsung pulang kerumah, nanti kalau mau kerumah pamanmu, antum keruah ana dulu” kata soleh, “baiklah kalau begitu, assalamualaikum... hati-hati dijalan ya!” kataku “waalaikumsalam... iya akhi...”.

suasana rumah sudah penuh dengan keluarga yang datang dari jauh, ibu dan bapakku sudah menungguku kembali sendari tadi, aku langsung menghampiri bapak dan bersungkem memohon maaf atas semua kesalahan dan dosaku kepada beliau begitupun dengan ibuku, Setelah itu dilanjutkan ke saudara-saudaraku. Di hari ini memang benar-benar hari yang diselimuti dengan kebahagiaan, semua keluarga kumpul, bercerita masa-masa kecil dulu, aku aku merindukan suasana ini sejak dulu, Allah memang Maha Pengasih dan Penyayang, sehingga kami dipertemukan dalam suasana seistimewa ini.

Aku kemudian pamit untuk masuk kekamar, aku bergumam “andaikan dia benar-benar sahabat lama ku... pasti aku akan ceritakan tentang semua kebahagiaan ini...” aku kembali mengambil foto itu. Tiba-tiba bapak memanggil dari luar “le sunu dulu, ki loo enek koncomu...” kata bapak, “siapa paak...?” kataku, kemudian langsung saja aku keluar dari kamar, ketika aku baru keluar mataku langsung tertuju sama seorang wanita yang ternyata tadi pagi sepulang shalat id aku dan soleh melihatny, dia memberikan sebuah senyuman kecil dan kemudian menundukan pandangan dariku, aku masih tak mengerti dengan semua ini, rasa penasaranku semakin besar karena wanita ini berkunjung kerumahku, siapakah dia sebenarnya akupun tak taku. Wanita ini datang bersama seorang wanita paruh baya dan aku mengenalnya, dia adalah ibu dari sahabat lamaku ukhti. “iya pak... siapa yang menyariku...?” aku menanyakan kepada bapakku untuk mengalihkan perhatianku yang sejak tadi memandangi wanita itu, “ kue kenal ora le sama cah ayu iku...?” kata ayah sambil menunjuk wanita itu, dan wanita itu kembali tersenyum sambil menundukan kepala, ndak kenal pak...? memang wanita ini siapa pak..? kok dia bareng sama bulek ima...?” mendengar pertanyaanku ke bapak, aku lihat wajah wanita itu yang tadinya bersinar kini mulai mengerut dan sedikit memerah. “assalamualaikum... waaah rame banget disini pakde, eeeeh ada mbak ukhti,,, ketemu lagi kita disini,” kata soleh yang baru datang dan dia semakin membuatku bingung, karena tadi pagi aku dan soleh sama-sama tidak mengenali wanita ini, tapi sekarang dia malah mengenalinya “waalaikumsalam... soleeeh? Kamu kenal sama dia,..?” setelah soleh selesai bersalaman sama bapak dan ibuku dan juga tamu yang ada di rumahku kemudian dia tersenyum dan berkata “hmmm akhi askhi... masih saja antum ini nggak kenal sama dia... yaudah gini aja besok kita pergi ke suatu tempat, ana mau menunjukan sesuatu... gimana..?“ karena aku penasaran sehingga aku menyetujuinya, dan soleh langsung mengajakku, dia juga mengajak wanita itu untuk pergi bersama, aku diam saja karena walau aku menanyakannya pasti soleh menertawaiku.

Keesokan harinya aku, soleh dan wanita misterius itu berjalan menuju suatu tempat yang aku bayangkan tidak akan asing dalam pikirku. Walau soleh sepanjang jalan selalu senyum kepadaku dengan terheran-herannya aku menggelangkan kepala, kemudian di tengah perjalanan wanita itu berpamit untuk pulang kerumah, “maaf aku gak bisa ikut sama kalian, aku harus pulang sekarang karena aku sudah ditunggu sama sepupuku dirumah, nanti aku nyusul kesana kok,assalamualaikum...” ”waalaikumsalam... iya mbak nanti ajak dia yaa... ?” soleh menjawab salam dari wanita itu, kemudian aku kembali bertanya sama soleh, “soleh... memang sebenernya dia itu siapa siii... aku kok masih bingung,memang apa siii yang disembunyikan...?”, dia hanya tersenyum “sssyyyuuuuut... diam, ikuti saja ana, kita akan menuju kesebuah pohon dipinggiran sungai itu, pohon jambu tempat kita bermain dulu.” Kemudia aku hanya diam sepanjang jalan, tapi tidak dengan soleh dia masih saja tersenyum seakan menahan tawa.

Dari jauh aku melihat pohon itu masih tegak berdiri menjulang langit, dan akhirnya kami berdua sampai juga pada tempat memang yang tidak asing lagi dalam benakku. “akhi antum masih ingatkan tempat ini?, apa jangan-jangan antum juga nggak ingat dengan tempat ini...?” aku tertawa kecil “hei soleeeeh, aku tu hampir tiap hari kesini, jadi jangan tanyakan masal itu...” dan kami tertawa bersama-sama, sekilas aku teringat waktu kami sekelas dulu bermain dan tertawa di tempat ini, tak lama kemudian semua teman-temanku berdatangan dan mereka semua adalah teman-teman MI ku, ternyata soleh dan kawan-kawan sudah membuat rencana dari sebelumnya, dan kamipun kembali tertawa sambil berjabat tangan, ada juga yang menangis karena terbawa suasana. Sungguh hari yang istimewa semua teman-temanku berkumpul disini, sudah lama tidak kumpul-kumpul di tempat yang sangat penuh dengan kenangan, sejak lulus MI semua teman-temanku tidak sedikit yang melanjutkan sekolah dan mondok pesantren keluar kota bahkan ada yang keluar pulau. Diantara semua teman-teman yang datang hanya satu yang belum datang, akupun tidak tau apakah dia belum datang atau memang tidak datang, “ternyata masih ada satu lagi yang belum datang, serasa kurang sempurna kebahagian kita kawan tanpa ada satu orang itu...“, celetukku sambil melempar batu kesungai dan menghela nafas panjang, “cieeeee.... siapa tuuuu... kami apa kamu yang merasa kurang lengkaaaap...???” kata salah satu temanku namanya soimah, dia adalah teman paling pandai di MI ku, dan dia baru pulang dari pondok pesantren modern yang ada di negeri ini, dia mendapatkan beasiswa, dan sekarang dia juga mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan belajar di mesir, sungguh luar biasa. Memang hampir semua teman-temanku mendapat nasib yang baik dan dapat melanjutkan ke sekolah-sekolah yang cukup mewah dan membanggakan. ‘hahahahaaaa....” kamipun tertawa semakin keras.

Ditengah-tengah keributan teman-temanku yang disibukkan dengan bercerita masalah pengalaman pribadi dan prestasi-prestasi yang diperolehnya, Soleh menanyakan sesuatu padaku “akhi ana dengar antum mendapat beasiswa kuliah di jogja ya...?” aku langsung memandangi mata sahabatku soleh “kamu kata siapa leeeh...?” kataku, “kata bapakmu kemaren sebelum lebaran... benarkah...?” jawab soleh, “iyaa leeh, aku mendapat beasiswa kuliah di jogja... kamu setelah mondok mau melanjutkan kemana...?” matanya yang tadinya semangat, kini berubah menjadi sayu dan dia menundukan kepala, “kenapa leeh..?” kataku, “nggak apa-apa akh, ana setelah ini nggak kemana-mana, ana harus membantu ibu mencari uang, kamu tau sendiri kan bapakku sering sakit-sakitan ana gak mungkin mau ninggalin ibu dengan kondisi bapak yang seperti itu” dari matanya mengeluarkan kepedihan, dan kamipun sepontan terdiam dan ikut menangis, memang soleh adalah anak dari keluarga tidak mampu, tapi dia berkeinginan keras bisa sekolah sampai dia benar-benar bisa mencari uang sendiri, seiring dengan rintik hujan yang turun dan mulai membasahi kami tangis soleh semakin deras.

Kami terdiam beberapa saat, “ternyata tempat ini masih seperti yang dulu, tempat yang penuh dengan kenangan, bersama air hujan yang terus mengalir, bertanda bahwa ikatan kita tidak akan terputus sampai kapanpu, Tuhan selalu tahu apa yang kita pikirkan dan yang terbaik untuk kita, ternyata kita masih dipertemukan disini, masih bersama hujan”, kami langsung menengok kebelakang, ternyata dibelakang sana ada dua orang wanita yang sedang memegang sepeda yang semakin aku mengenalnya, salah satu dari mereka berdua adalah wanita yang pagi kemaren aku lihat di masjid dan datang kerumahku, wanita satunya ternyata adalah sahabatku ukhti, dengan senyuman khasnya dia lontarkan padaku sejenak, aku seakan menangis bukan karena cerita sahabatku soleh tetapi aku menangis karena kedatangan sahabat paling dekatku yang sekian lama hampir 9 tahun tidak bertemu sejak kelah 4 MI.

“benarkah kamu ukti sahabatku...?” BERSAMBUNG...


by. Banyu mili

12 September 2013

-pengakuan sang anak hujan- part 3


15 januari 2000. saat kami pulang sekolah aku melihat, dia sepanjang jalan hanya diam, kuhentikan laju sepeda dan aku bertanya “ukhti kenapa hari ini kamu diam? Biasanya kamu paling cerewet kalau naik sepeda bersamaku” dia masih saja diam “ukhti apa kamu marah sama aku karena tadi pagi aku berangkat sekolah gak jemput kamu dulu?” diapun masih saja diam kemudia aku memberikan senyuman untuknya, lalu ia berkata “besok ayahku mau datang kesekolah, meminta surat pindah sekolah sama pak kepala sekolah” kembali ia terdiam dan memasang wajah murungnya. Sepanjang perjalanan menjadi sunyi tak ada kata-kata yang keluar dari ku.“akhi....akhiii... akhiiiii...!!! mau kemana kita,,? Akhii jangan diam aja siii,, jawab, kita mau kemana,.,.?” aku sengaja diam, dan kupercepat goesan sepeda ini melaju kesuatu tempat, dihamparan sawah yang sangat luas, diiringi rintikan hujan, aku menuju kepinggiran sungai dibawah pohon jambu, gerimis masih menemani kami, lalu kupinjamkan jaket untuk menutupinya agar tidak terkena hujan, tapi hujan masih saja meneteskan air, semakin besar langit menangis, dia hanya diam, diam dan diam, hanya petir yang saling bersautan yang mendendangkan lagu bersama gemercik air mengalir disungai, burung-burung berpindah dari ranting satu keranting yang lain, katak berloncatan menuju tepian sungai. Kami masih terdiam membisu, aku pun masih bingung apa yang akan aku katakan untuknya.



Hujan berubah menjadi gerimis, gerimis berubah menjadi rintikan kecil, mentari secara berlahan mulai memperlihatkan di ufuk barat hendak sembunyi, pelangi melukiskan langit bersama kicauan burung sang mega mulai ikut mewarnainya. “ukhti waktu itu ketika aku bilang bahwa hujan adalah puisi, kau hanya tertawa.. menertawakan wajahku yang menjadi sayu. ketika aku bilang rintik itu bahasa langit, kaupun hanya tertawa..menertawakan senyumku yang menjadi sendu. tapi kini, puisi itu telah menjelma menjadi hujan, rintiknya serupa sembilu menusuk kalbu, terasa sampai menusuk hingga ketulang, aku baru sadar  bahwa karena kaulah yang membuat hujan menjadi puisi... karena kaulah yang membuat sajak-sajak berupa gerimis”  kembali diam mengiringi kami, dia memandangku begitu dalam, dia memandangku penuh dengan kepiluan, kini jaket yang kuberikan untuk menutupi dari hujan, dia lepaskan dan dia tersenyum padaku “ akhi... hujan akan selalu bersamamu... puisi akan selalu berdendang ditelingamu... esok pagi, mentaripun masih ada untukmu...” kembali ia tersenyum memamerkaan lesung pipinya.


Ketika tonggeret mulai menggantikan nyanyian burung, ia bertanya padaku “akhi... kenapa malah kamu seperti ini? Kamu dari tadi diam, ada apa,?” kutarik nafas dalam-dalam dan kuhembuskan perlahan “kapan kamu meninggalkanku? Kapan kamu pergi dariku? Kapan kamu hendak meninggalkan pohon ini?”  aku bertanya dengan serius, tiba-tiba air matanya satu persatu terjatuh dan membasahi pipinya, semakin lama semakin tak terbendung laagi air matanya yang memaksa keluar dan isak yang semakin menjadi. Perlahan ku hapus air matanya yang membasahi pipinya, dia memgang tanganku dengan erat seperti tak mau dilepasnya. “ akhi... aku gak akan kemana-mana, aku tetap di sini aku tetap ada disampingmu, bermain bersama, berangkat sekolah bersama-sama, berangkat mengaji bersama, aku tidak akan pergi dari sini, aku tidak mau jauh dari kamu, akhi... percayalah, kamu adalah teman satu-satunya yang paling dekat denganku, akhi.... kamu taukan itu?” akupun tersenyum dan memandangnya dengan memberikan keyakinan “ukhti... semua itu benar, kita tidak akan terpisah walau kita berbeda tempat” hari semakin larut sore, megapun semakin jelas terlihat, dan mentari semakin tenggelam dan menyapa selamat tinggal pada kami berdua. Ku ambil sepeda yang tergeletak di sana dan aku mengajaknya untuk pulang, di sepanjang perjalanan aku selalu berbicara bahwa kau adalah puisi dan puisi adalah hujan.


Sesampainya dirumahnya, aku langsung berpamitan pulang, seperti biasa dia hanya memberikan senyuman khasnya untukku, kubalas dengan senyumaan juga. Dalam perjalanan pulang aku berfikir, sebentar lagi ia akan pergi dari sini, dan ia akan ikut orang tuanya pergi ke-jogja, lalu aku percepat langkah kakiku, semakin lama semakin kupercepat hingga ku berlari sekencang-kencangnya, sesampainnya di persawahan, aku tersandung batu dan aku terjatu tersungkur dalam genangan air hujan, gerimis kembali turun, mungkin hujan tau apa yang aku rasakan saat ini, aku masih terbaring di tanah dan aku terdiam dipembaringan, hatiku sangat merasa takut, takut kalau ia benar-benar pergi dariku, takut kalau aku tidak bertemu lagi dengannya. “Tuhaaaaan,,. Aku mencintai-Mu,.,. berikanlah sedikit cinta-Mu untukku,., berikanlah yang terbaik untukku dan untuknya,.,” aku kembali bangkit dan berjalan  menuju rumahku, di pelataran aku langsung menuju ke sumur untuk membersihkan badan, setelah itu selesai mandi dan selesai shalat ashar aku menulis sebuah puisi untuk hujan hari ini


“sering

Aku lupa pada bayanganku yang luka
Hingga ia tinggal
Bersama naruni dan hati
Kupenjara dalam kamar yang hampir mati


Langit biru jadi abu-abu
Semua hati jadi batu
Haruskan dunia demikian rupa
Bermain darah dan luka
Terlalu sering bertaruh nyawa


Jika hidup ini hanya permainan
Gerangan siapa yang memainkannya
Apa ia sudah muali gila?
Teringat tadi malam rembulan yang sembunyi

Tanfis langir rintik
Kupeluk dua kakiku
Kamarku dingin diriku angin


Lalu ku bikin sebuah pesawat dari kertas dan kubuka jendela, menunggu hujan menghilang kupandangi disetiap tetesan air yang masuk kekamarku, kuperhatikan dan ku lihat, memang benar, ternyata hujan itu sangatlah indah. Pelangi berlahan menghilang, mentari perlahan bersembunyi, dan hujan pun berhenti mengirimkan airnya. Aku menarik nafas dan berkata, “aku akan memberikan puisi ini untukmu malam, berharap sang rembulan dan ribuan bintang berganti menemani kepiluan bumi.” Dengan senyuman aku menerbangkan pesawat kertasku keangkasa, sayup-sayup tak jelas aku melihat pesawat kertasku terbang, terombang ambing tersapu angin, hingga jauh dan semakin jauh hingga akhirnya terjatuh di bangku panjang disana jauh dari rumahku, tempat kami berdua dengan ukhti duduk bersama sambil menunggu azan maghrib hampir disetiap sore hari, tapi tidak untuk hari ini.


Azan maghrib pun diperdengarkan dari setiap sudut pengeras suara yang ada di puncak menara masjid dekat rumaahku, ibukku pun mempersiapkan lampu minyak disetiap sudut ruangan, bapakku bersiap-siap berangkat kemasjid “akhi... ayo kita kemasjid,,, “ perintah bapak mengajakku shalat berjamaah, bergegas aku berjalan kemasjid. Aku melihat dari kejauhan ukhti mengenakan mukena putih kekuningan, dan berjalan bersama bapak dan ibunya. Tapi ia tidak melihatku, karena waktunya shalat hendak dimulai, aku langsung masuk ke dalam masjid.


Setelah shalat selesai dan dilanjutkan aku mengaji bersama teman-teman yang lainnya.
Setelah mengaji selesai kami bergegas pulang kerumah masing-masing, dari belakang ada seorang wanita yang memanggilku “akhi anterin aku pulang yaaa?” akupun langsung berbalik badan dan aku langsung mengiyakan, seperti biasa ia selalu memintaku mengantarkan pulang mengaji, dalam perjalanan kami sama-sama diam dan sampai depan rumahnyapun kami masih saling terdiam. Setelah ia berterimakasih kemudian ia mengambil sesuatu dari saku bajunya, “akhi... ini untukmu...” dan kemudian dia langsung masuk rimah, dia memberikan sebuah surat untukku.


Sesampainya aku di bangku dekat masjid, aku duduk disana dan ternyata pesawat yang aku terbangkan tadi masih ada disana. Dengan berlahan aku membuka surat itu, dan ternyata didalamnya ada fotonya, dia memberikan foto untukku, karena tulisannya tidak bisa dibaca karena gelap dan aku langsung menuju rumah, sesampainya di rumah aku kembali membuka surat darinya.


“assalamualaikuum...
Akhi... maaf aku sengaja memberikan foto untukmu, karena aku ingin kamu selalu mengingatku nanti ketika aku sudah tidak ada disini lagi.


Akhi... jujur selama aku mengenalmu, banyak sekali yang aku dapat dari kamu, terutama kesetiaanmu menjadi teman dekat ku...
Akhii... BERSAMBUNG...

by. Banyu mili

11 September 2013

kabari hujan

bukankah Tuhan tidak pernah murka
akan hamba-Nya yang berjalan dalam proses mencintai-Nya..?

ketika kita lemah, tanpa kita sadai Dia sedang memberi tahu
bagaimana cara menumbuhkan kekuatan itu..

ketika kita menangis bukan karena-Nya,
tanpa kita sadari hati kecil kita bersedih karena-Nya...

itu semua membuat kita sadar,
bahwasannya kita mampu dalam hal apapun karena-Nya...

segala sesuatu dimuka bumi ini telah ada skenarionya,
biarkan kita berjuang keras melawan virus itu saat ini.
agar skenario-Nya indah diakhir kisah perjuangan itu...

kuatkan aku demi nama cinta pada-Mu,
seperti langit yang selalu menguatkan bintang,
seperti angin yang setia pada ilalang,

pahami
seperti sungai yang selalu paham pada laju air,
seperti tanah yang bertahan pada hujam tajamnya sang hujan,

benar memang...
sebuah rasa yang terlalu berat...
bula jujur tak sanggup...

biarlah

cukup berbagi degan sepi,,, sendirian,,,
cukup ku nikmati bersama sang malam...
karena cinta-Nya...




by. Banyu mili

-pengakuan sang anak hujan- part 2


tanpa sadar air mataku bercucuran dipipiku, seseorang yang pernah membuatku terasa lebih hidup dan berarti kini ia kembali dan membalas suratku meski aku sudah lupa isi suratku yang dulu aku kirim, langsung saja aku membuka isi lokerku dan mengenang kembali masa lalu saat kami masih kelas 4 MI, foto yang selalu mengingatkan pada masa itu. Senyumpun tak terbendung lagi sebentar sendu sebentar riang, aku juga bingung apakah ini adalah perasaan senang atau memang ada ikatan tersendiri di antara kami.


suatu hari disudut sore saat langit menjatuhkan air berupa hujan yang berwarna kemerahan karena senja, titiknya kembali melukiskan kenangan di tanah, basah, teringat ketika kecil dulu berlari sepulang mengaji bersenang ria, berhujan-hujanan bersama teman-teman. kini meringsut, satu jiwa di sudut sepi sampaikan irinya pada sang bintang dan rembulan yang sejak tadi masih sembunyi di balik langit memandang warna memadu romansa, pikirku membayang dua jiwa berjumpa di pinggir kenangan yang teraba kais semua sisa milik mereka entah itu asa atau itu nyata atau juga harap yang tak kunjung nyata. teringat kembali cerita masa kecilku saat bermain bersama sang uhkti di pinggiran sungai dibawah pohon jambu, dengan ditemani puluhan ekor bebek yang riang berenang dan bernyanyi, hari ini tanggal 14 juni 2006 hari ini adalah ulang tahunnya yang ke 17 sedangkan esok 15 juni 2006 adalah ulang tahunku yang ke 18 tahun. Huuuh ternyata sudah sekian lama cerita ini tak bersambung, sudah hampir 9 tahun cerita kami berdua terhenti.


Setiap kali aku melihat semua surat-surat yang pernah ia berikan untukku, aku pasti meneteskan air mata, cengeng memang, tapi memang aku selalu dibilang anak cengeng sama dia. Dalam kesendirianku dimalam ini aku mengingat kembali kenangan-kenangan ku sama dia, saat pulang sekolah bareng, berngkat ngaji bareng, angon bebek bareng, ngerjain pr bareng, dan masih banyak lagi yang kami lakukan secara bersama-sama. Teringat suatu saat dulu ketika kami berdua pulang sekolah bareng, dia selalu naik sepeda bersamaku, sebenarnya jalanan di desaku masih aspal tanah dan masih banyak batu kerikilnya, tapi sebagian besar temen-temenku memang membawa sepeda kalau berangkat sekolah dan cuman aku sendiri yang selalu boncengan sama temenku ukhti, yaaaah memang karena aku tidak punya sepeda dan ukhti memang tidak bisa naik sepeda sendirian. Kala itu di tengah perjalanan dia memintaku untuk mengajarinya bersepeda, tapi aku menolaknya untuk mengajarinya karena siang tadi hujan lebat dan jalanan masih licin, tapi dia memaksaku untuk mengajarinya, terpaksa aku mengajarinya. Jalan dipinggiran sungai memang benar-benar licin apalagi aku harus mendorong dan menahan sepeda yang ditumpanginya karena aku masih takut karena baru kali ini dia belajar bersepeda dengan kondisi jalan yang sperti ini. Tiba-tiba sepeda tak tertahan olehku karen tidak disengaja sepeda menabrak batu didepannya, karena tenagaku kalah dengan sepeda maka kami berdua terjatuh di sungai. Kami berdua tertawa terbahak-bahak, karena sudah kepalang tanggung basah kami langsung bermain air dan diwaktu yang bersamaan hujan kembali turun menemani kami berdua yang sedang asik bermain air di sungai.


Sesampainya dirumahnya kami kena marah sama bapak dan ibunya, karena baju kami kotor semua sedangkan besok masih memakai baju yang sama, aku langsung meminta maaf dan berpamitan pulang. Keesokan harinya dia tida masuk sekolah dan ibu guru mananyakan kepadaku, “akhi kemana ukhti? Kenapa hari ini dia tidak masuk sekolah?”  aku diam saja tiba-tiba ada temanku yang memberikan surat keterangan sakit dari orang tua ukhti. Ketika jam istirahat aku menanyakan keadaan ukhti sama temenku namanya mas sobri, dan katanya dia sakit panas. Sepulang sekolah aku tidak langsung pulang kerumah, aku mampir terlebih dahulu kerumah ukhti untuk mengetahui keadaannya. Memang benar sesampainya aku dirumahnya dia masih terbaring di kasur dan badannya memang panas, lalu aku meminta maaf padanya, karena kemarin aku sudah mengizinkannya untuk belajar bersepeda dan akhirnya sampai jatuh kesungai. Tapi dia malah menjawab “akhi,,, tidak apa-apa ini juga salahku kok, yang memaksamu mengajariku bersepeda, akhi aku mintak kamu bacakan satu puisi untukmu sekarang”. Karena memang aku merasa bersalah maka aku turuti kemauannya.

“kemarin...

Saat hujan kembali turun, saat pelangi hendak menampakkan diri
Saat burung-burung sedang asiknya berhujan-hujanan, saat angin menyapu rerumputan,
Aku melihat wajahmu penuh kasih, wajahmu terlihat sangat manis saat kau suguhkan satu senyuman untukku...

Dan hujan menyambut senyumanmu dengan meriahnya
Saat itu pula aku mulai merasakan bahwa aku sangat memperhatikanmu,

Dan kini

Aku sangat mengkhawatirkanmu...

Kembali ia menghadiahkan satu senyuman seperti kemarin untukku.


13 januaari 2000 “Akhi... akhi... akhi... kamu tau gak kenapa Tuhan menurunkan hujan?” dia bertanya dengan begitu serius “yaaa karena Tuhan sayang sama makhluk-Nya dan hamba-Nya makanya Allah turunkan hujan...” dia diam sejenak dan tersenyum memperlihatkan lesung pipinya, “itu salah satung akhi,,, tapi ada alasan lain kenapa Allah turunkan hujan, Allah menurunkan hujan untuk kita berdua akhi, aku adalah hujan bagimu, setiap tetes hujan maka aku ada dalam tetesan itu, aku selalu ada setiapkali hujan turun dan menghampirimu...” tersentak aku sejenak, ini pertama kalinya ia berkata seperti itu. Rintik hujan mulai membasahi rerumputa disekeliling dan mulai membasahi kami, “akhi... Tuhan telah mengabulkan do’aku... aku meminta hujan turun untukmu..” aku masih diam seribu bahasa, sejenak aku memandangi langit kutarik nafas dalam-dalam dan kuhembuskan, kembali aku memandang wajahnya yang mungil dan manis, kemudian aku berkata “ukhti coba lihat disana, ada seekor semut yang sedang menikmati kedatangan rintikan hujan, mungkin ia sedang kehausan karena seharian tak turun hujan, walau pohon itu ada di pinggir sungai, tapi kenapa ia memilih menunggu hujan turun ketimbang mengambil air di sungai ini,,,?” dengan senyuman ia menjawab pertanyaanku “akhi aku juga gak tau kenapa, mungkin memang hujan adalah suatu berkah yang sangat luar biasa untuk semua makhluk-Nya..”.


Sore itu aku, ukhti, paman sedang menggiring bebek menuju kandangnya. Kemudian pamanku menyampaikan sebuah kata-kata “sore ini hujan rintik belum terpejam/ cinta masih beku/ rindu masih hambur/ sajak-sajak menggamit semua kerinduan dan keheningan/ menanti luruh dengan hadirmu bersama rinai hujan... akhi, ukhti kalian berdua boleh pulang biar paman sendiri yang menggiring bebek-bebek ini masuk kekandang” dengan senyuman kami lalu berpamitan kepada paman, di persimpangan jalan dia menyodorkan secuil kertas untukku, dan ia berkata “akhi tolong dibaca setelah akhi sampai dirumah” aku langsung mengambil surat iru dan kami berpisah disini menuju rumah masing-masing, dan dia kembali memberikan senyum dan lesung pipihnya. Sesampainya dirumah aku duduk di kursi bambu reot buatan bapak, sambil memandangi hujan pelan-pelan aku membuka kertas ini, dan aku membaca surat itu untuk hujan.


Awan-awan untukmu
Mungkin ini hanya lukisan tentang rinai-rinai rindu sang hujan
Atau semacam nostalgia gerimis...
Mungkin juga getar dawai hati yang sunggu ku berikan untuk sang hujan
Kesejukan menyusup saat hujan datang dan aku bercerita padanya tentangmu
Saat kuhitung butira-butiran embun pada daun
Ada wajah tersenyum bercermin pagi itu
Pada setiap gugusan bening
Kumemandangnya dari sudut kamarku dijendela ini aku melihatmu tersenyum padaku
Sore ini tak banyak yang ingin ku katakan
Di hatiku
Awan-awan untukmu...
Akhi semoga kamu bisa mengingatku saat kamu tertidur dan bermimpi
Berlari diantara ilalang bercanda ria disana,
Di bawah pohon jambu tempat kenangan kita berama bebek-bebek nakal milik paman saipul.
Semoga kamu memahami hati ini...


Berulang kali aku membaca surat ini, dalam hati berkata “akankah kau selalu disini untukku uhkti...” huuuh memang seminggu lagi ia dan keluarganya mau pindah ke jogja, setiap saat, setiap waktu aku berulang kali membaca surat itu, biar kata-kata yang ada dalam surat itu bercampur menjadi satu dengan darahku.


15 januari 2000. saat kami pulang sekolah aku melihat dia sepanjang jalan hanya diam, kuhentikan laju sepeda dan aku bertanya “ukhti kenapa hari ini kamu diam? Biasanya kamu paling cerewet kalau naik sepeda bersamaku” dia masih saja diam “ukhti apa kamu marah sama aku karena tadi pagi aku berangkat sekolah gak jemput kamu dulu?” diapun masih saja diam kemudia aku memberikan senyuman untuknya, lalu ia berkata “besok ayahku mau datang kesekolah, meminta surat pindah sekolah sama pak kepala sekolah” kembali ia terdiam dan memasang wajah murungnya. “akhi.... BERSAMBUNG...

 by. Banyu mili